HiGH SCHOOL LIFE PART 3 - atha's scrapbook

September 16, 2012

HiGH SCHOOL LIFE PART 3

Finally dapet ide lagi buat nulis, di part 3 banyak kata-kata bagus looh :3 haha ini diaa~


HiGH SCHOOL LIFE PART 3



Aku berjalan pelan. Air mataku tidak juga mau kering. Tapi tak apalah, toh tidak juga terlihat. Seakan dihapus oleh air mata bumi. Ya, sekarang memang sedang hujan, tapi aku tidak merasa dingin. Aku hanya merasa sendirian. Aku merasa semua orang jahat terhadapku. Kenapa aku tidak punya satu orang saja yang bisa mengerti? Haha kamu tahulah, aku ini memang tidak penting.

***

Aku menghitung. Ya, menghitung. Detik per detik yang berjalan sangat lambat. Denyut nadi yang pelan, detak jantung yang lemah, tarikan nafas yang berat, langkah yang seakan melayang, dan tetesan air mata yang jatuh. Nggak semudah mengerjakan soal aljabar. Jauh lebih sulit.

Kamu tahu bagaimana seseorang bisa datang dan pergi dengan cepat, kan? Tidak memberitahu terlebih dahulu. Tidak membiarkanmu menarik nafas satu detik saja. Tapi apakah kamu tahu, bagaimana rasanya diajak terbang tinggi, lalu dicampakkan begitu saja? Seperti balon yang sedang mengangkasa, lalu dipanah. Sakit memang, namun aku belajar sesuatu. 

Tidak mau terbang lagi..

Dia yang kemarin membuatku tertawa, dia yang kemarin tertawa sambil menatapku. Kini giliranku menatapnya, sambil menangis? Apakah ini adil? Dia membuatku tertawa dan dia juga yang membuatku menangis. Berlebihan dan menjijikkan memang, mengingat aku bukan siapa-siapa. Temannya pun tidak...

Lalu maksud semuanya kemarin apa?

“Xav, di langit banyak bintang loh...”

“Gue yakin di langit banyak bintang. Walaupun gue gabisa liat karena gue lagi ditempat les. Tapi gue percaya kok kalo di langit banyak bintang.”

“Buat apa percaya kalo nggak bisa liat? Buat apa percaya sama hal yang belom pasti? Ngabisin waktu tau gak.”

“Hei, terkadang kita emang harus percaya sama hal yang nggak pasti, karena hal-hal yang pasti belom tentu bisa dipercaya.”

“I’ll keep your words, Xav! Belajar yang bener yaa.”

And it made me blushing, you know.

***

Sekarang, setelah semua ini? Haruskah aku tetap percaya?? Percaya pada kemungkinan terburuk, atau kemungkinan terbaik? Aku banyak bertanya, ya. Maaf.

***

“Xav, ayolah gue yakin lo denger omongan gue. Lo cuma nggak mau ngangkat telpon gue kan? Fine, mailbox ini cuma semenit so gue gak mau basa-basi. Gue tunggu di taman besok jam 10 pagi, kalo lo nggak dateng we’ll be strangers, oke bye!”

Bunyi mesin itu memekakkan telinga. Bayangkan saja, benda itu berbunyi jam 3 dini hari!

Aku menghela nafas satu-satu, dan menangis tanpa suara. Mengapa keadaan menjadi jauh lebih sulit? Bukankah harusnya setiap hari menjadi lebih mudah karena aku sudah diajari untuk kuat? Aku sudah bersumpah tidak akan terbang lagi bersama Taft. Tapi jika Taft berlutut dan memohon apakah aku kuat untuk mengatakan tidak?

Dasar Taft gila! Menelpon jam 3 pagi! Taft memang sudah gila, merubah nama Shafira menjadi Xavi. Dan Taft juga gila, menyebabkan pikiranku dipenuhi oleh namanya.

Benda itu berbunyi lagi..

"Xav, lo pernah bilang sama gue kalo terkadang kita harus percaya sama hal yang nggak pasti, karena hal-hal yang pasti belom tentu bisa dipercaya, kan? Sekarang semuanya nggak pasti kan? Gue minta lo percaya, sekali ini aja.”

Aku terdiam mendengar suara Taft yang seperti kereta api itu. Cepat, dan membahagiakan.

***

Thanks for reading! You rock! leave comments please, xoxoxo

No comments:

Post a Comment