April 2015 - atha's scrapbook

April 18, 2015

Dream An Impossible Dream

Saturday, April 18, 2015 3
Dream An Impossible Dream

Jangan pernah melepaskan apa yang selama ini sudah kamu impi-impikan. Meski pada jalan itu kamu tersandung kerikil, atau tiba-tiba dibelokkan ke jalan yang berbeda. Karena bisa saja pada akhirnya tujuanmu sama. Tuhan hanya mengujimu dengan tantangan lebih berat dan menggantikannya dengan hadiah yang lebih baik.
***

an old phrase saying "dreams do come true" wasn't even lying...

i have flewn 12,000 kilometers away to meet my one of big dreams. oh wait, flying for more than 10,000 was already one of my big dreams, too.

...

it was a thrilled phase of my life. totally. 2014 was so awesome. it made me feel thousands feelings i've never felt before. i was nearly desperate. i waited sooo long and found out that i didnt make it. so i tried, harder than the first one. then Alhamdulillah the big news came up. i was so happy till i couldnt say anything. both happened in 8 months. that were the hardest yet the happiest 8 months ever.
think i was talking about a boy? haha no. for me this is much bigger than just a classical high school love story...

***
Malam itu sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang berbeda, menurutnya. Setidaknya belum. Telepon genggamnya tiba-tiba berdering tepat saat dia hendak shalat.
Guru Bahasa Jermannya menelpon. Ia takut. Bukan, bukan takut terhadap gurunya. Tapi takut pada kenyataan yang akan menamparnya jika berita yang akan datang tidak sesuai ekspektasinya.
Beberapa pesan singkat menyusul masuk. Ia tetap bergeming. Sudah terlalu malam untuk berita yang tidak penting.
Ia bahkan takut hanya untuk membacanya.

Setelah menyelesaikan doa-doanya, takut-takut ia membuka pesan singkat itu.

Assalamualaikum
Gratuliere dir...

Ia terdiam. Bahkan kata-kata selanjutnya tidak terlihat penting lagi.
She finally made it.
***

Rasanya masih seperti mimpi, tapi akan terlalu menyakitkan bila semua itu tidak nyata. 

Itu pertama kalinya saya punya paspor. Pertama kalinya saya punya surat yang harus ada tanda tangan notaris nya. Pertama kali saya urus surat Prodia pakai bahasa Inggris. Pertama kalinya masuk kedutaan besar dengan segala protokol ketatnya. Pertama kalinya dapat izin Visa. 

Mungkin akan terdengar membosankan jika saya memulai semua kalimat dengan "pertama kalinya saya...", maka dari itu percayalah bahwa cerita-cerita di bawah ini adalah "pertama-pertama kalinya saya..." juga.

Naik pesawat, memang bukan pengalaman pertama saya. Tapi naik pesawat lebih dari dua jam dengan destinasi fantastis, adalah pertama kalinya bagi saya. Sebelumnya saya hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya berada dalam penerbangan yang sangat lama. Apa yang dilakukan penumpang, apakah makanan akan disajikan lebih dari sekali, bagaimana keadaan kaki orang-orang yang duduk di kelas ekonomi, dan lain-lainnya.

Setelah dadah-dadah yang sangat lama dengan Bapak dan Ibu, saya membawa koper 18inch saya yang hanya berbobot 15kg itu ke counter check-in. Ternyata begini rasanya akan terbang jam sepuluh malam, in International Departure lagi. Saya, yang tidak pernah masuk International Departure hanya bisa memandang takjub deretan nama maskapai penerbangan terkemuka di dunia. Flag carriers yang selama ini hanya saya lihat di film-film. Ketika mencapai seat, saya menaruh winter jacket dan ransel di compartment di atas. Ketika perlahan pesawat meninggalkan tanah, saya memejamkan mata. Bismillah, my journey is about to begin.

Dua jam setelahnya saya ada di KLIA, Malaysia untuk transit. Setelahnya monitor di hadapan saya menunjukkan waktu hitung mundur untuk sampai ke tujuan akhir saya. 12jam 52menit. Hampir 13 jam. Saya hanya bisa tidur beberapa jam.

Kira-kira pukul 08:00 pagi waktu Frankfurt pesawat mendarat. Suhu diluar diperkirakan sekitar 4 derajat celcius. Garbarata bandara Frankfurt punya jendela yang langsung mengembuskan udara luar. Sebagai anak tropis yang hanya pernah merasakan 18derajat celcius sebagai suhu terdingin, saya hanya bisa berjalan secepat yang saya bisa. Gila, dingin sekali. Padahal hanya sekali lewat. Setelah ambil koper, saya dan teman-teman bertemu dengan Betreuerin kami dan ia memberi Hanuta dengan sebotol air mineral berlabel asing. "Wilkommen in Frankfurt! Mein Name ist Betti..." Setelah itu ia menyuruh kami memakai jaket dan berjalan lebih cepat katanya kereta sebentar lagi datang.
Saya bawa koper besar, ransel yang berat, dan totebag. Bagaimana nantinya jika harus naik kendaraan umum, di bawah tanah, dan lain-lainnya. Dasar pemikiran manja anak Indonesia yang maunya serba instan.

Ternyata, di dalam kereta tidak hanya kami yang membawa bawaan banyak. Bahkan ada yang membawa sepeda, atau anjing peliharaan mereka. Oh, gini ya. Pemandangan diluar keren sekali namun terasa kurang. Bagi anak tropis, musim dingin adalah salju dan saya tidak melihat salju sama sekali. Mana winternya? Mungkin belum, ya. Bahkan pertanyaan kami setelah pertama kali bertemu Betti adalah kapan salju akan turun. "Mungkin minggu depan. Kami berharap begitu," katanya. Sekitar 30 menit hingga akhirnya kereta berhenti di stasiun Konstablerwache (saya baru berhasil mengeja Konstablerwache dengan benar setelah hampir 2 minggu). Suhu dingin kembali menyapa. Betti hanya tertawa melihat kedelapan anak Indonesia ini berteriak kedinginan. Toko-toko di Kurt-Schumacher-Str. masih tutup. Saya pikir karena masih pagi, namun saya sadar bahwa itu adalah hari Minggu. Dasar mental turis, tidak peduli kedinginan saya tetap foto toko-toko tutup itu. Karena bus yang ditunggu tidak kunjung datang, akhirnya Betti bilang kita harus jalan kaki. Okay...
Setelah tinggal agak lama baru saya sadar jika membawa koper berjalan di trotoar atau bahkan di pusat kota pun adalah hal biasa di sini. Okay lagi.

Dingin. Dingin. Masih jauh tidak. Dingin. Cuma itu yang saya pikirkan. Hidung saya mulai mengeluarkan ingus, dan ketika menyebrangi jembatan angin Frankfurt membuat muka saya membeku. Badan saya masih harus beradaptasi. Setelah sampai di Jugendherberge dan check-in, menitipkan paspor dan uang dan sebagainya, saya terheran-heran melihat ada anak yang hanya mengenakan kaos tak berlengan. Gila, saya 3 lapis saja begini... Belakangan anak bule-memakai-kaos-tak-berlengan itu jadi salah satu teman saya yang paling dekat.

Saya menangis di hari kedua saat akhirnya bisa ditelpon ibu. Saya merasa asing. Aneh. Teman kamar saya yang satu seolah tidak peduli dan dua yang lainnya terus menerus bicara bahasa Spanyol yang saya tidak mengerti. Tapi saat sarapan teman kamar saya yang saya kira tidak peduli itu justru menjadi yang paling perhatian.
"Are you okay?" "Yeah sure, why? Did you hear me crying in the bathroom or what?" "No. You said you miss home, and I know how it feels. Just stay off of your phone for awhile. It helps."
Now I miss her to pieces <///3

Hanya dua hari. Hanya dua hari saya merasa aneh dan sedih. Selebihnya, it was a lot of fun!!!!!!!

Pertama kalinya saya memakai outifit impian masa kecil saya, winter coat & gloves & scarf yang melilit ke leher. Winter coat punya ibu yang ketika sd hanya saya pakai untuk berkhayal di depan kaca. Winter coat yang dibeli bapak tahun 2008 akhirnya dipakai...
Eiserner Steg, Frankfurt am Main, Jan 12th 2015

Esoknya mereka membawa kami semua ke Senckenberg Museum yang menurut saya mirip sekali dengan Museum Satwa - Batu Secret Zoo, Malang. Malah lebih lengkap yang di Malang. Bersyukurlah jadi anak Indonesia, serius. Bukan cuma karena museum ini, tapi banyak hal hebat lainnya.
Gajah Lampung~~~

Setiap malam sebelum tidur, ada Abendrunde. Suatu acara dimana dibahas semua yang sudah terlewati hari itu dan apa saja kegiatan untuk besok. Disana juga semua boleh menyuarakan pendapatnya. Dan mereka menyediakan Wunsch Box bagi yang ingin berpendapat atau berkeinginan secara anonim. Saya membom Wunsch Box di dua hari terakhir sebelum pulang dengan tulisan-tulisan seperti "Ich möchte ins Kino gehen", "Ich möchte kochen zusammen", "Nach Feldberg noch einmal fahren" dan lain-lain. Saya tahu itu sudah sangat terlambat namun ketika itu saya hanya merasa sedih bahwa sebentar lagi saya akan pulang.

Pemandangan setiap Abendrunde.

Contoh jadwal kegiatannya. Niat banget, ya:"))

Sejak mendapat koneksi internet, selain berkomunikasi dengan orang tua dan teman-teman, hal yang saya lihat selama beberapa jam sekali adalah ramalan cuaca. Kapan salju turun. Kapan salju turun...
Salju pertama kali saya lihat di Frankfurt. Ketika itu masih gelap. Masih sekitar jam setengah delapan pagi. Saya dan teman-teman sekamar saya masih setengah sadar ketika mendengar suara berisik dari jendela luar. Teriakan-teriakan itu keras sekali, tapi bukan jenis teriakan mengganggu. Namun teriakan bahagia. Teman saya membuka tirai dan melihat apa yang terjadi.
Anak-anak laki-laki berteriak-teriak sambil melempar sesuatu ke arah jendela.
"SCHNEE!!! SCHNEE!!" hanya itu yang saya pahami, selebihnya mereka bicara bahasa Spanyol. "Wirklich? Schnee??!!" "Ja, Atha!! Ja!!"
Saya langsung ke kamar mandi dan menyambar sweater yang baru saya beli di Primark kemarin. Saya hanya berpikir bagaimana cara tercepat untuk melihat salju. Teman latin Amerika saya melakukan hal yang sama. "Komm!! SCHNELL!!"
"Was ist los?" Nampaknya teman NZ saya baru sadar. "SCHNEE!! SCHNEE!!" saya berteriak girang di depannya dan reaksinya adalah "Oh." Dan kembali merapatkan selimut. Okay, I know you've seen it before:") haha
Saya mengetuk pintu kamar teman saya dan reaksinya sama seperti saya.
Ternyata gini rasanya...

Salju cair beberapa jam kemudian. Dan kira-kira empat hari setelah salju pertama itu, saya merasakan hujan salju untuk yang pertama kali. Di Mainz. Dan berton-ton berhektar-hektar salju hari selanjutnya ketika Jens mengajak kami semua wandering ke Gunung Feldberg. Suhu minus tiga derajat celcius di sana merupakan suhu terdingin yang pernah saya rasakan.

***
The point is...
  • Percaya rencana Tuhan.
    Dari SD mimpi saya adalah AFS. Saya berusaha, saya ikut seleksi. Namun Allah bilang tidak. Saya hanya sampai tahap 3. Tapi Allah menggantinya dengan yang lain. :)
  • Jangan pernah lelah bermimpi.
    Ketika kelas 10, saya ikut pertemuan besar pertama klub bahasa Inggris saya. Ketika itu klub tersebut ulang tahun yang ke 35. Saya masih anak bawang. Hanya duduk di kursi penonton melihat acara demi acara. Saat itu salah satu senior saya berbicara di depan, menceritakan tentang pengalamannya selama 3 minggu di Jerman. Seru sekali. Dalam hati saya bertekad saya pengen juga. Ketika itu saya tidak tahu caranya. But I believe I will find the way. And guess what? I did. I went to Germany with the same program as her.

    Sejak SD atau bahkan lebih muda lagi, keinginan terbesar saya adalah melihat salju. Di tahun 2008 bapak dapat beasiswa ke Prancis selama 9 bulan. And he saw snow. And it made me a little bit jealous. Saya pengen juga. I don't know how but I will figure it out. And I did.
    Bapak tinggal di Fontainebleau, 60km dari pusat kota Paris. And he made me a little bit jealous, but I promise I'm on my way there. I'm working on it.

    Setahun yang lalu saya iseng menulis draft  novel berlatar belakang kota Mannheim. Kenapa Mannheim? Karena setelah browsing, sekolah ekonomi terbaik di dunia ada di Mannheim. So I chose Mannheim. Setahun setelahnya, Januari 2015, saya mengunjungi Mannheim. Walaupun nggak ke universitasnya tapi cuma ke Technoseum, it already felt awesome:')

    and so on...


Keep dreaming folks, me too. I am not satisfied yet. I still have tons of big dreams which I should make come true. I hope my stories encouraging you to keep believing that big things could happen if you want them to happen. It depends on you. Not anybody else. If I can, you can. If they can, we can.

feel free to ask me more @athayanadhira
cheers,
atha