November 2015 - atha's scrapbook

November 10, 2015

Rumah

Tuesday, November 10, 2015 2
Rumah
Kalau bagimu bahagia adalah terus berpindah, bagiku bahagia adalah menghirup satu meter kubik udara yang sama denganmu. Mengeksresi karbon dioksida dalam dimensi ruang yang sama, berbagi lelucon yang sama sekali tidak lucu, dan berbagi kehangatan kenangan yang sama.

Aku telah memutari bumi belasan ribu kilometer. Namun tidak ada yang terasa senyaman rumah. Tidak ketika tidak ada bayanganmu yang jatuh tepat pada bintik kuning di retina mataku, menimbulkan impuls yang membuat seluruh sel sarafku menari bahagia.

Kamu sama saja seperti waktu. Tidak akan pernah statis.

Berkata ‘ya’ pada pertanyaanmu beberapa tahun lalu sama saja menyetujui segala konsekuensi yang tersembunyi dalam setiap kalimat yang kau lontarkan.

“Aku bukan hidup dalam kurungan, entah teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu. Aku hidup bergesekan dengan ranting pohon, aliran sungai, sengatan matahari, dan tamparan dingin angin malam. Bersinggungan dengan warna kulit warna-warni, kota-kota gelap tak berlentera, dan milyaran kata-kata asing yang bahkan tak kupahami.”

Tidak. Aku sama sekali tidak lupa. Bagaimana caraku untuk bisa melupakan semua hal yang telah mengubah kelabu menjadi merah jambu?

***
Frankfurt am Main, dua bulan sebelumnya, pukul 2 pagi waktu setempat.
Aku sedang menekuni berlembar-lembar halaman jurnal tentang sejarah Uni Eropa berbahasa Jerman. Kepalaku sakit. Sudah 6 jam sejak aku membaca kalimat pertama pada jurnal yang pertama. Namun hingga saat ini aku masih belum bisa paham. Tujuh jurnal dengan segala kerumitannya itu aku tinggalkan begitu saja. Aku ingin tidur. Tidak peduli jika besok ada ujian akhir mata kuliah sejarah kebudayaan Uni Eropa.
Oh sial.
Maksudku hari ini.
Tepat tujuh jam lagi.

Aku rasa tidur selama lima jam sudah sangat lebih dari cukup.

Aku baru akan memejamkan mata saat tiba-tiba telepon genggamku berdering nyaring satu kali. Tanda ada sebuah surel yang masuk.

Semoga kabar dari yang ditunggu-tunggu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Calya Akayasa,
kemarin sial sekali. Aku lagi ambil gambar Manhattan skyline dari Brooklyn Bridge sambil pegang hape. Ceroboh, ya? Pasti kamu tahu kelanjutannya. Sekarang hapenya sudah berenang bareng ikan di East River.
Maaf buat semua messages di Line/sms/Whatsapp yang belum sempat kubalas. Maaf, buat semua kekhawatiran yang kemarin-kemarin.
Hari ini ujian akhir sejarah kebudayaan Uni Eropa, ya? Wah, aku tahu kamu pasti bisa. Kamu sudah hafal ratusan nama raja ratu yang mirip-mirip itu dari SMA, kan? Thesis nya gimana? Kapan sidang?
Sleep tight, and good luck for tomorrow. Saling mendoakan terus, ya. Jaga diri baik-baik, Cal.
You know I love you,
Alastair Haider
p.s. see you really really soon, Schatzi!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ternyata surel singkat itu mampu membuatku menangis ditengah kantuk yang tak tadinya tak bisa ditahan. Berbagai perasaan melebur menjadi satu. Lega, jengkel, dan rindu yang tidak tahu dimana ujungnya. Merasakan lelah dan khawatir secara bersamaan bukan merupakan perasaan yang menyenangkan.

Kubalas surel Asta lambat-lambat sembari menahan buliran bening air mata yang tidak mau berhenti.

Asta, tenyata pergi dari rumah membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan...

***
Jogjakarta, lima tahun lalu.
“Jadi... mau nggak Cal?”

Aku masih terdiam dan terengah-engah sembari memandangi ujung-ujung sepatuku yang tergeletak di atas paving block jogging track lapangan GSP. Ya, aku kehabisan napas setelah berlari sore mengitari GSP tiga kali.

Dan setelah ditembak Asta.

Aku mengatur napas satu persatu. Melihat Asta yang menatapku penuh harap.

“Harus banget ya, nanyanya pas aku lagi keringetan dan ngos-ngosan?”

“Calya...” Asta menahan gemas.

“Boleh, deh.”

“BOLEH, DEH? Cal, aku bukan lagi ngajak makan malam...” Asta menghela napas berat.

“Kamu maunya aku jawab pakai kalimat kayak apa? Iya, Asta. Aku mau jadi pacar kamu. Gitu?” Aku tersenyum jahil penuh kemenangan.

Akhirnya Asta tertawa lepas dan mengacak-acak rambutku yang penuh peluh. Lima detik kemudian ia mengeluh menyesal melakukan itu. Sekarang telapak tangannya lengket dan berbau tidak enak.

“Cal, obrolan kita nggak akan pernah garing, kan?”

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab yakin. “Nggak, lah. Kita punya pengetahuan dalam bidang berbeda. Kamu open-minded. Kamu teman diskusi paling seru yang pernah aku kenal, Ta. Jangan berubah, ya. Tetap ajarin aku soal kamera, gunung, atau mineral. Aku janji nggak akan bosan.”

“Iya, asal kamu juga nggak bosan-bosan kasih tahu aku soal dunia. Tentang sejarah peradaban manusia, politik, dan budayanya. Tentang mimpi-mimpi besarmu. Tentang hal yang paling kamu benci dalam satu hari. Tentang apa yang kamu pikir perlu kamu bagi.”

Aku tersenyum dan memandang Asta sayang. Lalu tiba-tiba tertawa saat aku mulai merasakan mataku memanas dan mengeluarkan air mata. Beberapa detik kemudian aku menjawab ada keringat yang masuk mata saat Asta bertanya kenapa.

Ya Tuhan, aku bahagia.
***
Jogjakarta, hari ini.

Hari ini hari pertamaku menjejakkan kaki lagi di Jogjakarta setelah kurang lebih dua tahun aku tinggal di Jerman menyelesaikan program beasiswa master. Hari ini harusnya Asta yang menjemput di bandara. Harusnya.

Tapi beberapa hari belakangan Asta sulit dihubungi. Meninggalkan kembali jejak-jejak kekhawatiran yang dua tahun belakangan selalu menghantuiku. Dua tahun yang naik turun seperti roller coaster. Dua tahun yang sempat membuatku ragu. Dua tahun yang ternyata lama sekali.

Selama dua tahun belakangan aku merasa jarak antara aku dan Asta bukan hanya Jerman-Indonesia. Lebih dari itu. Oke, aku tahu Asta sering keliling dari satu negara ke negara lain karena hobi dan pekerjaannya. Bukan, bukan jarak harfiah seperti itu. Tetapi jarak antar perasaan. Jarak yang akan terus mengecil dan semakin mengabur saat kau dan seseorang sudah memiliki koneksi rasa bahagia yang sulit diartikan. Aku menyebutnya jarak batin.

Sekarang aku merasa jarak batin antara aku dan Asta memuai, dan aku rasa aku perlu sedih juga khawatir.

Karena sesungguhnya jarak batin jauh lebih menyakitkan dibanding jarak geografis.

Namun aku bukan perempuan cengeng. Aku tahu aku bisa menjaga diri, begitu juga Asta.
***

Di hari ketiga Asta baru bisa dihubungi. Malam ini ia berjanji akan menjemput dan mengajak makan malam. Nostalgia, katanya. Hatiku berdebar. Aku akan bertemu Asta setelah dua tahun yang telah berhasil kami selesaikan.

Dan disanalah ia. Berdiri di depan pagar dengan hoodie biru dongker hadiah ulang tahun dariku tiga tahun lalu. Ia tersenyum. Namun aku merasa asing.

Dengan kikuk aku menghambur ke pelukannya.

“Halo lagi, Ta.”

Welcome home, Calya.” Asta mengecup puncak kepalaku. Aku merasa asing.

Asta melepaskan pelukannya saat sadar aku hanya terdiam satu menit berikutnya.

“Kamu nggak  apa-apa?”

Aku menggeleng pelan. “Yuk, keburu malam.”

Sepanjang perjalanan menembus angin malam Jogjakarta, aku hanya terdiam di atas jok motor. Asta terasa berbeda. Ia mengenakan parfum yang beda, punggung yang lebih lebar, model rambut, serta intonasi suara yang berbeda.

Mungkin Asta juga merasakan perbedaanku. Dibuktikan dengan tidak adanya perdebatan seru mengenai harga minyak atau penyetaraan kesehatan di atas jok motor seperti biasanya. Malam ini hanya hembusan angin dan deru knalpot yang terdengar.

Dua tahun bisa berarti banyak, ya, Ta.

Setelah memesan makanan, kami kembali terdiam. Sampai Asta bertanya basa-basi. Aku benci basa-basi.

“Ta, kita kenapa, ya?”

“Kenapa gimana?” Raut wajah Asta berubah bingung. Namun aku yakin sebenarnya ia mengerti.

“Beda. Apa karena udah nggak ketemu selama dua tahun? Atau semakin kesini kita semakin yakin kalau passion kita beda?”

Asta tertawa hambar. “Dari dulu passion kita juga udah beda, Cal. Tapi, iya. Jujur, aku juga ngerasain itu. Aku sempat hampir stress. Dulu, waktu aku punya banyak masalah, cerita sama kamu, diskusi sama kamu bisa bikin semuanya selesai. Dan bikin aku bahagia.

Dua tahun belakangan aku akui komunikasi kita jelek banget. Kamu mulai kuliah master, aku mulai kerja. Kamu sibuk, aku sibuk. Aku pergi keliling-keliling yang nggak setiap tempat ada akses internet. Dulu ketika aku pulang, ada kamu yang selalu siap nyambut. Dua tahun belakangan, nggak.

Aku ingin menangis. Jujur bukan obrolan seperti ini yang aku harapkan. “Aku juga punya mimpi yang harus aku kejar, Ta. Dan jangan kamu pikir cuma kamu disini yang rasain susah. Kamu kira hidupku gampang dua tahun belakangan?

Aku nggak mau bahas masalah long distance lagi karena toh sudah pernah kita bahas dan sekarang aku sudah pulang.

Tapi tahu nggak, Ta? Sekarang aku sudah bisa terbang juga. Aku memang sudah pulang, tapi aku nggak janji akan bisa lama berdiam.

Yang aku takutkan cuma satu. Jalur terbang kita beda, dan apa yang kita sebut ‘pulang’ juga akan berbeda. Menurut kamu, ‘pulang’ itu apa?”

“Pulang. Kembali ke rumah, Cal.” Asta terlihat yakin.

“Menurut kamu rumah itu apa?”

“Rumah itu tempat dimana kamu bisa menjadi dirimu sendiri tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Tempat dimana kamu bisa bahagia tanpa ada batas yang bisa kamu ukur.”

“Dimana?”

“Ayolah, Cal. Berhenti ragu. Kamu tahu jawabanku selalu sama. Bukan dimana, tapi siapa. Buatku, pulang, rumah, itu kamu.”

“Kamu selalu jalan, Ta. Gimana caramu pulang ke rumah? Aku selalu ingat bahwa kamu pernah bilang bahwa kamu bukanlah mereka yang terkungkung teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu. Buatku, rumah adalah yang bisa melindungi. Yang bisa memagari. Yang bisa kusebut dengan zona nyaman.”

Barriernya dilebarin dikit boleh, nggak, Cal?”

“Maksud kamu?”

Barriermu terlalu sempit. Sama aku, ayo kita lebarin barriernya jadi tepian dunia. Zona nyaman itu cuma sugesti. Percaya, deh, sama aku.

Perjalanan, petualangan kita lima tahun ini terlalu berharga buat ditukar dengan kata menyerah.”

Aku menatap Asta tanpa ekspresi. “Aku nggak ngerti.”

“Apa yang udah kamu dapat setelah pergi dari rumah?”

“Tenyata pergi dari rumah membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan.”

Asta tersenyum.

“Sakit, Ta. Nggak menyenangkan.”

“Rindu itu menyebalkan sekaligus membahagiakan. Rindu membuat kita sadar siapa yang benar-benar berarti siapa yang tidak.”

“Tapi kamu selalu pergi.”

“Pergi untuk pulang, Cal. Lagian nanti kalau aku pergi kamu bisa ikut.”

“Mana bisa...”

“Bisa, kalau kamu mau jadi rumahku. Tempatku pulang. Tempatku berbagi segalanya. Sedih, senang, bahkan kulit ayam KFC.”

“Katanya selama ini aku rumahmu? Selama ini juga kita sharing macem-macem, kok.”

“Berhenti pacaran, yuk?”

Aku menoleh kaget.

“Besok aku ke rumahmu lagi, ya. Mau ngomong sama ayah bunda.”

“Ta...”

“Terus ntar biar papah mamah ketemu ayah bunda.”

“Ta...”

“Terus biar bisa cepat diurus. Kata orang ribet, ruwet, tapi bikin bahagia, sih. Ntar aku mau designnya warna silver, kamu mau tambah warna apa? Ungu? Jangan. Gimana kalo...”

“Ta...!”

Akhirnya Asta menoleh. “Kok nangis, sih?”

“Aku udah nemuin rumah...”

“Iya, lah. Itu juga aku udah tahu. Jalan Manggis no. 37, kan? Kelamaan di Jerman, sampe lupa alamat sendiri?”

“ASTAAAAAAAA”

“Apa, sayang?”

Aku tertawa dan menghapus seluruh air mata yang keluar. Menghujani Asta dengan cubitan bertubi-tubi dan membuat seluruh pengunjung warung tenda pecel lele itu menoleh. Aku tidak peduli. Aku sudah bertekad untuk berhenti meragukan hal yang bahkan tidak perlu diragukan.

Aku bahagia.

Aku pulang pada rumah yang membahagiakan.