2017 - atha's scrapbook

December 12, 2017

Menua dan Pulang Berdua

Tuesday, December 12, 2017 0
Menua dan Pulang Berdua

Ditatapnya kedua bola mata cerah perempuan itu. Hatinya tak henti mengucap syukur, Tuhan berikan ia sebagai teman hidupnya. “Kenapa kau mau menerimaku?”, ia masih heran. “Tuhan kirimkan kau untuk kucintai, dan mencintaiku.”

Dapur di rumah mereka menguarkan harum-haruman yang membuat lelaki itu hanya ingin makan di rumah. “Uda mau makan apa?” diucapkan dengan suara paling lembut sedunia. Tuhan, inikah surga?

Orang-orang melihat betapa sempurna hidup mereka. Orang-orang tidak tahu berapa banyak duka yang harus mereka sisipkan pada hati mereka yang herannya semakin hari tidak semakin sempit. Dua manusia yang Tuhan takdirkan untuk saling menguatkan.

Detik demi detik perlahan melunturkan kegagahan mereka berdua, namun tidak kecantikannya. Dan kelembutannya.

Hingga pada suatu masa, ujian paling berat menguji hidup mereka. Menguatkan cinta mereka.
Dibasuhnya kepala dan tubuh perempuan itu setiap hari dengan sayang. Dinina bobokkannya hingga ia terlelap berdua diselimuti dinginnya malam. Dipeluknya, dibimbingnya, diciumnya. Ia telah berjanji di depan Tuhan dan ayah perempuan itu untuk menjaganya. Dan ia menepatinya.

Ketika Tuhan terlalu rindu pada sang perempuan, lelaki itu dengan berat hati merelakannya. Membasuh dan menciuminya untuk terakhir kali. Air matanya sudah habis. Namun doa dan cintanya tidak. Ia letakkan foto sang perempuan di sebelah tempat tidurnya, membiarkan baju-baju perempuan itu tetap berada satu almari bersama baju-bajunya.

Ia beli liang di sebelahnya.

Sepuluh tahun berlalu dan cintanya tidak pernah berganti. Dipanggilnya nama istrinya di sela-sela napasnya yang sudah susah. “Papa kangen mama,” berulang kali ia ucapkan. Memastikan anak-anaknya mengerti ia begitu merindukan ibu mereka.

Tahun-tahun penuh kerinduan yang menyiksa bagi lelaki itu sudah usai. Kini mereka sudah tidur panjang. Berdua dipeluk bumi. Menua dan pulang dalam cinta yang selalu sama.

Meninggalkan cerita bahwa cinta itu nyata.



 ---
Menjadi saksi kisah cinta yang nyata memang menyenangkan, juga menyesakkan pada waktu yang sama.
I love you, Oma, Opa.
May Allah gives His eternal blessings for both of you.
Rest in love.

September 16, 2017

Broaden Your Border

Saturday, September 16, 2017 0
Broaden Your Border
As for some people, broadening their borders seems scary. Oh, forget about seeing. The idea of it already scared them to death. Those people are usually already too comfortable of being on their comfort zone. Too afraid to walk to a 'better area'. Too scared to make sacrifices.

I believe that there's price for you to pay in order to achieve good things. There are sacrifices to make. This year is my 5th year of living separately from my parents and to be honest, I don't really like the idea of it. But for me that is the sacrifice I had to make to be able to study in a better educational system, and I'm forever grateful for that chance.

Moving to one city to another is also a great challenge for me as a truly introvert. I'm not comfortable approaching people or let's just say I'm not good at making a move. I also take longer time than normal people to be myself in a new surrounding. But those flaws of mine didn't stop me to explore more. Getting involved in a new environment could be a nightmare for me, but I tried to be positive and enjoyed the adaptation process, because I knew, I always knew, at the end, those new people, cities, and schools will always be my favorites.

Why are there some people who don't like to move out? There are a lot of stories I've heard about strict parents, non-loving families, non-supporting environment, and the saddest one, cheapening themselves. Come on man, those reasons can't, won't, and never could stop you from dreaming. Oh, except the last one maybe.

I got saddened by the fact that some people out there are still afraid to dream. They think that dreaming about big things are useless and they won't achieve it, so why bother dreaming. As I have said, they're cheapening them selves. They don't believe in themselves that they can do bigger things, that they could be becoming greater than they are now.

Dreaming is free. I am myself had proven it that it is no wrong to have big dreams, they are actually achieve-able if you really really want them to. I'm not coming from a wealthy family who can travel the world as much as I want. And I only have seen a little of this big world. It's funny how those memories I had make me craving for broadening my borders. I want to see more. I want to experience more. I wanna be better at understanding people with so many different background stories. I wanna be able to inspire more people to move out from their comfort zones.

It's sad somehow, knowing that there are people who are still comfortable being in their comfort zone, those who are already satisfied of knowledge, of experience, of friends they've had. I know we can't force people to believe what we believe. But I really want them to know, that this beautiful world we're living in is much much bigger, more beautiful, more exciting, and truly dearer than their small comfort zone. Go explore, and you'll understand.


I hope you could see the world the way great people do.
Love,
Atha

May 26, 2017

Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua

Friday, May 26, 2017 0
Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Jua
Manusia pada dasarnya selalu memihak, kepada apa yang diyakininya benar. Tapi, persepsi 'benar' dan 'salah' bagi setiap orang belum tentu sama. Kita hidup di dunia yang bukan hanya terdiri dari hitam dan putih, ada puluhan bahkan mungkin ratusan shades abu-abu di antaranya. Bukan porsi kita untuk menentukan dan memaksakan apa yang harus diyakini oleh orang lain.

Kita hidup heterogen. Sebut saja suku bangsa, bahasa, budaya, ras, agama, kebiasaan. Hidup berdampingan dengan yang berbeda-beda tentunya bukan hal yang mudah, ya? Tapi bukan tidak mungkin terjadi. Kita sudah pernah melakukannya. Leluhur kita sudah pernah. Kenapa sekarang tidak?

Ketidaksamaan di antara kita memang sangat sangat sering menimbulkan masalah. Bukan akhir-akhir ini saja. Tentunya kita semua pernah tahu bahwa beberapa puluh tahun lalu kaum kulit hitam mendapat diskriminasi besar-besaran di Amerika. Namun setelah beberapa dekade berlalu, salah satu presiden mereka berkulit hitam. Tapi apakah diskriminasi sudah benar-benar hilang disana? Sepertinya tidak.

Sampai kapan pun yang namanya perbedaan itu akan selalu ada. Alhamdulillah manusia diberi Allah akal untuk berpikir, yang seharusnya mampu digunakan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sekali lagi saya bilang, persepsi 'salah' dan 'benar' dari setiap orang belum tentu sama. Dan bukan hak kita untuk memaksakan setiap orang memiliki perserpsi yang sama dengan persepsi yang telah pikiran kita ciptakan untuk kita yakini. Perbedaan lagi.

Ketika kita sudah tahu bahwa kita berbeda-beda, memiliki hasil pemikiran yang berbeda-beda, dan mengimplementasikannya berbeda-beda, lalu mau apa? Apa susahnya menghargai?

Pada tengah jalan kita mungkin akan bertemu dengan manusia-manusia dengan keberpihakan yang sama dengan yang kita anut, dan pasti, pasti kita akan lebih cenderung suka padanya. Memihak padanya, membelanya. Tapi apakah kita harus membenci ketika kita bertemu dengan yang tidak memihak hal yang sama dengan yang kita pihak?

Saya suka sedih dengan keadaan Indonesia yang sekarang semakin carut-marut. Apakah Gadjah Mada dan mimpi besarnya menyatukan Nusantara mati sia-sia? Apakah perjuangan Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin, dan puluhan pahlawan Nasional kita mati sia-sia?

Indonesia yang heterogen ini cantik. Disatukan dengan kata sakti 'Bhineka Tunggal Ika'. Founding Fathers kita percaya Indonesia bisa kuat, bisa bersatu karena keberagamannya. Sekarang keberagaman ini malah jadi senjata untuk saling serang saudaranya sendiri.

Kalau bicara agama, saya kira Indonesia sudah cukup adil. Hari-hari besar setiap agama yang diakui dijadikan hari libur nasional. Rumah-rumah ibadah bebas didirikan. Dan setiap orang berhak untuk memilih apa yang mereka yakini. Saya rasa kita sudah lupa dengan poin-poin dasar ini, dan terlalu mem-blow up apa yang seharusnya tidak perlu di-blow up. Saya percaya setiap agama mengajarkan kebaikan, dan setiap agama memiliki pandangannya masing-masing terhadap penganut agama lain atau dalam kata lain 'non-believer'. Dalam agama Islam sendiri, non-believer disebut 'kafir'. Namun saya rasa penggunaan kata 'kafir' di Indonesia sudah terlalu banyak dipakai untuk menghujat sampai-sampai terpatri dalam benak orang-orang 'kafir' adalah pendosa, tidak pantas diberi surga, dan calon penghuni neraka. Sehingga ketika seseorang dilabeli 'kafir', dia tidak akan terima karena siapa yang ingin dilabeli sebagai 'pendosa', bukan? Padahal arti kafir sendiri yang sebenarnya adalah 'yang bukan muslim', yang seharusnya tidak menjadi masalah ketika digunakan. Tapi sekali lagi, karena penggunaan kata tersebut selama ini adalah untuk menghujat, orang-orang sudah sensitif sekali dengan kata ini.

Hal-hal seperti itu yang membuat kita lupa akan keramah-tamahan dan keindahan keragaman yang kita punya. Indonesia sebenarnya diberikan rasa toleransi yang tinggi, namun emosi yang mudah tersulut, dan lagi-lagi yang paling saya benci, tidak mau cross check. Informasi apapun ditelan mentah-mentah, selama sumber yang memberikan mereka anggap 'benar', dan menolak mentah-mentah informasi dari sumber yang mereka benci. Padahal belum tentu yang mereka anggap benar itu benar, dan yang mereka anggap salah itu salah. Saya sudah bilang kita tidak hidup hanya dengan hitam dan putih. Ada banyak shades abu-abu di antaranya. Tidak mengapa punya pemikiran sendiri, tidak mengapa opini kita berbeda dengan suara mayoritas, tidak mengapa apa yang kita yakini benar tidak sama dengan yang mereka yakini benar. Selama kita mau menghormati, dan menghargai pendapat orang lain.

Apa sih enaknya hidup dalam ketakutan, kebencian, dan rasa marah yang tak kunjung berhenti? Kenapa kita tidak bisa kembali di masa ketika belum marak sosial media dan berita kacangan yang membuat muak, dimana semua orang baik-baik saja hidup berdampingan dengan perbedaan. Internet, media sosial, memang seperti dua sisi mata pisau. Di satu sisi, banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dengan lebih mudah, informasi-informasi darurat dapat segera tersampaikan, dan kita bisa silaturahmi dengan yang sangat jauh. Tapi di sisi lain, banyak orang yang menggunakan kecanggihan teknologi untuk menyebarkan kebencian, berita subjektif yang sangat sangat tidak mendidik, atau menghujat sana sini. Marilah gunakan internet dengan bijak. Sebarkan kebaikan, ajakan kedamaian, dan informasi-informasi edukatif yang berguna.

Perdamaian itu bukan tidak mungkin terjadi. Saya pernah tinggal di 4 provinsi berbeda di Indonesia. Selama masa transisi, tentunya 'perbedaan' saya akan terasa dan terlihat oleh 'orang lokal'. Tapi apa saya dikucilkan hanya karena aksen saya berbeda dengan mereka, atau saya tidak mengerti apa yang mereka katakan sehingga mereka harus pakai bahasa Indonesia? Tidak. Manusia itu fleksibel, bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Satu-satunya makhluk yang cara adaptasinya adalah dengan akalnya. Manusia diciptakan untuk bisa hidup berdampingan dengan perbedaan, dan kita bukan tidak bisa beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan di antara kita.

Biarlah perbedaan-perbedaan ini jadi pemanis di antara kita. Jadi pengingat bahwa manusia adalah makhluk tingkat tinggi dengan akal yang mampu toleransi dengan perbedaan. 

Indonesia kaya bukan karena pendapatan per kapitanya tinggi. Bukan karena masyarakatnya semua hidup bergelimang harta. Indonesia kaya karena kita terdiri atas perbedaan-perbedaan yang diirikan banyak negara lain, lho. Tujuh belas ribu pulau, ratusan suku, bahasa daerah, lagu-lagu, tari-tarian, masakan, adat istiadatnya, dan fakta bahwa kita hidup baik-baik saja dengan keberagaman tersebut. Iyakah?

Semoga kita dijauhkan dari rasa benci dan amarah yang tidak perlu. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menyebarkan kebaikan dimanapun kita berada. Aamiin.

All my love,
Atha.

May 20, 2017

What A Funny World We Live in

Saturday, May 20, 2017 0
What A Funny World We Live in


As she closes her eyes, she sees him smiling under the summer’s sunlight hugged by sunset breeze on the top of a cliff next to the ocean. Soothing. Calming. She immediately smiles, knowing that he’s happy.
She has seen his sorrow surrounded by people’s laughter. Depressed and dark. It’s not the fact that he ran low that makes her sad. It’s because she could do nothing to help. That she couldn’t reduce his pain.
Now that everything is better, she only could hope that he would always be okay, always be safe, and always be tough enough to face all mess the world has to offer.

***

It’s her smile that lights up his tiring day. She never realizes that she is so special. One of a kind. She doesn’t believe it everytime people says she’s pretty and worth it. She always takes it as a joke.
Last night after hundreds of things he had to think about, she slipped into his mind. He laughed, potraying her bumping into someone’s back and keep saying ‘Im sorry’. Then she began cursing at herself telling how stupid she is, while he thought she isn’t.
He only could hope that she would begin believing at herself. Rather than focusing at her flaws, he hopes that she would expand her sight, borders, braveness, and finally could see that she’s that special. That she is the reason why he’s smiling tonight.

April 22, 2017

Semangat, ya.

Saturday, April 22, 2017 0
Semangat, ya.
Tersenyumlah. Setulus saat kita mengucapkan terima kasih kepada yang telah benar-benar meringankan beban kita. Seceria saat pada akhirnya kita bisa bertemu dengan orang yang kita sayang.

Aku tahu dunia tidak selamanya manis. Ada banyak hal berat di luar sana yang harus kamu lalui yang tidak aku tahu. Ada begitu banyak tanggung jawab dan masalah yang harus kamu hadapi setiap harinya. Seberat itu sampai-sampai doamu setiap hari adalah bisa menangis di pelukan ibu. Penenang yang mungkin hanya bisa kamu dapatkan tiga atau empat kali dalam setahun. Sabarlah. Hasil baik tidak didapat dengan cara yang mudah.

Aku tahu kamu dengan segala mimpi besarmu, dan aku bangga dengan hal itu. Aku bangga dengan orang-orang yang sanggup memperjuangkan mimpi-mimpi besar mereka, dengan mereka yang dengan berani mendobrak tradisi bodoh dan kolot, juga dengan mereka yang terus menerus tanpa takut memperkecil batas ketidakmampuan mereka. Oleh karena itu, tetaplah berjuang atas apa yang kamu yakini benar.

Semangat, ya, untuk apapun yang sedang kamu perjuangkan. Semoga Allah selalu sayang kamu.
Salam sayang dariku.

January 4, 2017

Eighteen Claptraps and Antiquities

Wednesday, January 04, 2017 0
Eighteen Claptraps and Antiquities
Maybe our definitions of happiness are that different. But still, I am staying being the one who is fool. From the first rays of sun until the beautiful orange skies in the afternoon, still believing that at some point we would stop showing each other who’s the best, because at the end, I would keep telling that you are, to me.

I would lose myself thinking about climbing the highest building around us, shouting hellos to the airplanes that fly above our heads, or simply screaming names to whoever walking under the roof. We would eat dozens slices of margarita pizza and get drunk over certain cans of bubbling ginger ales only God knows how much. Then we laugh because we realize how childish we are right now. And I don’t regret it, at all. We would stop anyway, to talk about our precious childhoods and how amazing it would be if we could relive it over again.

On Sundays we would hit the beaches; laying on the sands while having the nastiest sun-bathing ever because it was 12 pm and the sunshine made me sick. You would smile, telling me thousands times it’s okay to tan my already tanned skin; making me ranting for the next days, but keep saying let’s go when you say let’s do it again. Sun burns really felt nothing compared to the scars we’ve given to each other.

You would dance immediately when you hear numerous types of songs I hate, but I’d laugh instead because you are that bad on dancing. Then I’d feed you a big spoon of my all time favorite coconut shaved ice that you loathe, but you’d swallow it anyway because shaved ice gives us brain freeze which is the thing we love the most during summer days, exactly like what slurpee does to us. We abhor things the other love, and that was never matters, until the ants inside our heads dine the wrong cells.

I always felt enough and complete, I guess you did too. Then all things stopped working the way they were, and we started faking everything we could, including laughs and hugs that were never unreal. Looks like we wrote our vows without permanent markers; because now they are starting to fade, as well as our faith on each other.

It just stopped at certain point,
like the radio signal on thunderous nights.
The last thing I saw was your back walking away,
and you’re never back.
Leaving me wondering around of how to operate these things you once promised to teach.