December 2016 - atha's scrapbook

December 25, 2016

Us in a Nutshell

Sunday, December 25, 2016 0
Us in a Nutshell
And I began to brood, whose fault it was. Me, for being such a ingenue, or you, for pretending over anything. I could call it sweet. Running through the basketball court at night which had weird redolent; breaking some school rules only to be joyful. One night we laid on the grass, watching the fireworks that we set on a dark sky. The other night we spent whole day at the park's benches and laughed so hard on our friend's lame jokes. We would out of the blue bump into each other every morning before the fog even vanished; saying hi and awkwardly talked about the weather.

I never thought that I would like you that much. We barely knew each other until one day you brought out the topic of my accent. "Weird," you'd say. You would look at me as if I was an indigenous person of an ancient tribe, just because I talked differently. Then you began ranting; why out of all people I was the one who had cute accent, why our lines crossed in a bizarre way, or why the way I behave bothered you so much. Trust me, I had no idea. I have no idea.

People called it outrageous, but to me that was your incipient attempt to make your dots connected into mine. You were always dancing in the fire while the best thing I did was talking effervescently. I was pretty much doing things behind the curtains and you always showed up under the spotlight. Best actor of all the dramas we played. Now I finally understand why they said "you've been given an elixir. wake up".

At the end, our ego won the battle. We both already gave up before the referee even blew his whistle. We were too afraid to say yes; resulting in a long, savage, fiery ruth. I, wearing my saggy, ugly, navy jacket, feeling unsure, called it quit. Few moments afterwards, I received a big, mysterious dispatch. You viciously were intertwining your lovely yarns, which used to make my gloomy days away, with my sweet best friend's.

Was I a fool to believe it was a sweet lagniappe? I guess I had no choice. We were seventeen and all we did was being comely to each other.
Thank you, though. It was a nice assemblage.

December 10, 2016

Jadi Muslim yang Baik

Saturday, December 10, 2016 0
Jadi Muslim yang Baik
Makin kesini, makin besar, saya jadi suka mikir.
Apa yang kita cari dalam hidup? Apa tujuan kita hidup?
Sampai saat ini jawaban saya satu, sih, bisa berguna buat orang banyak. Kalau belum bisa berguna buat orang, seenggaknya jangan menyusahkan orang lain.

Pasti tahu akhir-akhir ini di Indonesia banyak kejadian nggak menyenangkan yang menyangkut paut agama, dan politik. Dulu saya termasuk dalam golongan netral yang bahkan cenderung tidak peduli. Selama nggak ngaruh ke saya, yaudah. Orang mau ribut jungkir balik yaudah. Capek emang lihat drama manusia di sosial media. Sebegitu entengnya, ya, ngeluarin kata-kata kasar. Astaghfirullah.

Saya tidak peduli sampai pada suatu hari saya membaca postingan seorang penulis Indonesia di sosial media yang menerangkan mengapa ia sakit hati dengan perkataan pejabat tersebut yang membuat keributan di seantero Indonesia ini. Disitu saya tertegun. Saya bisa paham kenapa ratusan ribu orang berdemonstrasi. Saya tahu alasan saya tidak peduli. Saya belum mencintai Al Quran sebesar orang-orang yang ikut demo, sebesar orang-orang yang sakit hati. Lebay banget, tha, gitu aja sakit hati. Well, sekarang saya tanya. Kalau kalian mencintai sesuatu, sangat, sangat, cinta, lalu ada seseorang yang tiba-tiba nggak kalian kenal, nggak tahu apa-apa soal sesuatu yang kalian cintai itu dan bilang hal-hal yang enggak-enggak, sakit hati ga? Kalau enggak ya berarti kalian ga cinta. 

Mengenai demo, dari saya SD sampai hari ini setahu saya negara kita negara demokrasi, dan demonstrasi merupakan kegiatan yang sah. Saya nggak habis pikir sama orang-orang di luar sana yang mencibir berparagraf-paragraf ngatain orang-orang yang demo bego dan tolol. Padahal saya tahu mereka orang berpendidikan, dan harusnya orang yang berpendidikan tahu bahwa demonstrasi di Indonesia adalah hal yang sah. Mungkin kalau demonya orang Islam jadi beda ya? Hahaha capek lah. 

Namun dari sekian banyak hal di atas, yang paling bikin sedih adalah orang Islam yang mengatai teman-teman seimannya bego karena demo, karena gitu aja kok sakit hati. Mereka bilang begitu semata-mata hanya untuk validasi lingkungan, agar tidak dicap "islam banget, kolot, gak modern". Sedih nggak sih, seorang muslim malu untuk mengaku cinta sama agamanya sendiri. Saya tahu, saya bukan muslim yang sempurna, jilbab saya belum syar'i, masih suka pake celana, jarang banget sholat dan puasa sunnah, tapi saya nggak pernah malu mengakui saya muslim. Saya mau belajar hal-hal yang belum saya tahu tentang agama saya karena ternyata masih banyak banget yang harus saya pelajari. Saya juga sekarang lebih berhati-hati menjaga lisan. Lebih baik saya diam ketika saya tidak paham betul akan sesuatu, daripada koar-koar marah-marah di sosial media padahal nggak paham banget soal agama, malah jadinya bikin image muslim jadi jelek. Padahal Islam mengajarkan kasih sayang dan lemah lembut. Islam mengajarkan sabar, ikhlas.

Mungkin orang Indonesia terlalu banyak dimanja. Disini mau sholat gampang, masjid dan musholla ada dimana-mana, pakai jilbab biasa aja, 97% warung jual makanan halal, bulan Ramadhan warung makan pada pakai tirai dan banyak orang juga puasa, kantor dan sekolah pulang cepat. Jadinya banyak yang jalanin ibadah tanpa hati, cuma karena kewajiban. Agama turunan dari orang tua. Saya pernah keluar negeri, walau cuma sebentar. Disana saya banyak bersyukur kalau inget di Indonesia betapa gampang beribadah. Saya sering diliatin aneh, dan pernah satu waktu saya berjalan nggak sengaja nyenggol lengan bapak-bapak, beliau langsung membersihkan tangannya mengibas-ibaskan jaketnya seperti habis kena najis saja. Saya harus menggeser meja tiap mau shalat karena saya "melindungi" tempat shalat saya dengan meja biar nggak diinjek-injek sepatu sama teman satu rumah. Saya pernah wudhu di wastafel kampus lalu shalat di auditoriumnya dan ditontonin sama orang-orang. Mau cari makan juga harus pilih-pilih. Betapa saya juga dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua muslim sama seperti ekspektasi kita. Saya bertemu muslim yang minum alkohol, makan babi, and doing one-night stands with girls from night clubs. Dan ketika ditanya agama mereka bilang mereka muslim. Ya Allah, maafin Atha, tapi kadang saya nggak rela "membagi" agama saya dengan mereka. Astaghfirullah. Itu salah satu pelajaran yang saya dapet bahwa kita nggak boleh judgemental karena belum tentu iman kita lebih baik daripada mereka. Astaghfirullah.

Saya berusaha menjadi muslim yang baik. Saya pengen nunjukin bahwa dengan menjadi seorang perempuan muslim berjilbab saya tetap bisa menjalani apa yang saya mau, tetap bisa bergaul dan berteman, bahwa jilbab adalah pilihan saya, bukan paksaan. Coba kalian bisa tahu ya, sebahagia apa saya waktu denger beberapa teman saya bilang "It's really my first time talking to a girl in a hijab, usually I just saw them on the streets. I'm afraid to talk to them because the media made us to. But it turns out okay. You are just a normal girl like the others! It opens my mind, it's not that scary." Saya berusaha jadi muslim yang baik. Saya tidak pernah memarah-marahi teman-teman muslim saya yang minum alkohol atau makan babi. It's their choice. Mungkin beberapa kali saya hanya bercanda "Makan babi mulu lo". Sisanya ya lewat perbuatan. Sebisa mungkin saya tunjukin Islam itu bagaimana, dan didoain. Saya tahu ilmu agama saya masih cetek banget. Tapi insyaAllah saya nggak akan judgemental. Sedih kadang lihat ada beberapa orang yang ilmu agamanya sudah tinggi tapi memandang rendah yang belum berjilbab syar'i dan masih pake celana kayak saya. Nggak semua, tapi ada. Dan nggak enak rasanya di judge "berdosa". Dari situ saya paham mengapa banyak yang bilang bahwa dakwah yang sebenarnya adalah bukan "kamu salah, dan aku benar" tapi "yuk, sama-sama belajar yang benar kayak gimana". Saya pribadi sih ogah kalau disuruh hijrah tapi dakwahnya "weh baju lo masih salah, dosa tau kayak gitu. gini nih kayak gue, yang bener". Saya masih harus belajar banyak. Doain saya semakin hari semakin jadi muslim yang lebih baik, ya. 

Satu lagi pelajaran yang saya dapet di luar negeri. Entah kenapa, waktu berada disana, saya bangga banget menjadi seorang muslim. Saya bangga banget saya pake jilbab, dengan begitu orang-orang langsung tahu bahwa saya muslim. Betapa senengnya pada ketika pada akhirnya saya bisa mematahkan persepsi-persepsi mereka tentang muslim. Membuat mereka sadar bahwa apa yang disiarkan media selama ini tentang muslim dan teroris adalah salah. Betapa cowo-cowo memerlakukan saya sopan, nggak asal peluk-peluk dan cipika cipiki kayak ke cewe lain. Saya bangga saya nggak makan makan babi dan minum alkohol. Betapa semua orang selalu memperhatikan saya "kita pergi ke tempat makan yang Atha bisa makan" atau "Atha kamu nggak boleh makan apa aja? Biar besok dimasakin nggak salah". Hal-hal sesederhana itu, bikin saya bangga. Mungkin nggak seberapa, tapi bagi saya itu pengalaman rohani banget.

Perbedaan itu indah kalau kita saling menghargai. Kalau kita nggak suka ngejudge orang "berdosa". Urusan iman itu antara manusia dan Tuhannya. Seperti yang saya bilang. Belum tentu iman kita lebih baik dari iman orang yang kita judge. Semoga kita jadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita selalu dilindungi Allah. Semoga kita selalu berada dalam kebaikan dan kebahagiaan. Aamiin.