November 2013 - atha's scrapbook

November 16, 2013

Lost in France. Lost in you.

Saturday, November 16, 2013 0
Lost in France. Lost in you.
Charles de Gaulle, 19 November 2017.

Delina melengos lelah, jarum jam ditangannya menunjukkan pukul delapan malam. Sadarlah ia jam ditangannya masih menunjukkan waktu Indonesia bagian barat. Kalau ia tidak salah hitung, harusnya sekarang masih pukul 2 siang.

Delina menggendong ranselnya dengan pasrah. Tubuhnya terlalu lelah untuk merengek. Ia sudah terbang sejauh sebelas ribu lima ratus delapan puluh kilometer. Walaupun lelah, senyumnya masih terkembang. Sekarang kakinya telah resmi menginjak lantai bandara Charles de Gaulle. Dan dia tidak bisa lebih bahagia dari ini.

Hall kedatangan bandara seharusnya menjadi tempat paling membahagiakan di semua bandara. Ia menengok ke sekelilingnya, melihat seorang ibu sedang menggendong bayinya yang sedang merengek. Wajah si ibu bule tadi terlihat letih, pertanda habis melakukan perjalanan panjang sepertinya. Namun raut wajahnya berubah tatkala ia mencapai pintu dan melihat sesosok lelaki berdiri menunggunya disana. Membawa setangkai mawar merah yang masih segar, dan sebuah senyuman hangat. Delina berani bertaruh lelah si ibu tadi akan sekejap hilang.

Sementara dirinya? Ia sendiri. Ya, memang awalnya itulah yang ingin dilakukannya dengan pergi ke benua biru ini. Menyendiri. Setelah melewati pemeriksaan pasport oleh petugas keamanan bandara, Delina segera mengantri di depan conveyor belt, menunggu koper ungu kesayangannya tiba. Setelah melihat kopernya, tanpa basa-basi ia langsung menarik koper besarnya. Dan cerobohnya, koper itu mengenai lengan atas seorang bapak.

"I am sorry, sir. I didn't mean it."

Namun bapak tadi hanya memandangnya tajam. Tanpa membalas permintaan maaf Delina. Delina tidak peduli. Ia ingin segera tiba di Paris. Ia segera berjalan, tersenyum sekilas ke arah tulisan Bienvenue en France yang menyadarkannya bahwa ia sekarang sudah di Perancis! Delina mengikuti tanda RER B, Paris par train, yang tertulis besar-besar di pintu keluar.

Sampai di depan mesin tiket otomatis yang berwarna hijau, Delina kebingungan setengah mati. Mesin itu hanya mau menerima uang koin, sementara uang yang ia punya hanya berupa lembaran kertas. Ia celingak-celinguk. Lalu dengan nekat menghampiri seorang bule. Nampaknya masih seusianya.

"Excusez-moi, parlez-vous anglais?" Delina mencoba mempraktekkan bahasa Perancisnya yang dianggapnya masih abal-abal. Lelaki tadi menoleh, menyemburkan rasa lega di hati Delina karena ternyata laki-laki tadi mengerti.

"Oui. Can I help you?"

Delina nyengir kuda, "I don't know what to do. That ticket machine just wants coins. But I don't have any. Is there any place to change the money I have with Euro coins?"

Laki-laki itu menatapnya datar, dan menunjuk sebuah mesin tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebuah mesin penukar uang.

"Oh, hehehe. I didn't see that one. Thank you very much!!"

Delina segera memasukkan selembar uang 10 Euro nya ke dalam mesin, dan tak berapa lama muncullah keping-keping koin Euro yang segera dipungutnya. Delina lalu membeli tiket seharga 9,5 Euro itu, kembali ke mesin hijau tadi. Setelah mendapatkan tiketnya ia segera bergegas menuju peron.

***
Paris, 19 November 2017.

Angin November yang berhembus di kota Paris jauh lebih dingin dibanding yang Delina kira. Ia segera merapatkan syal merah mudanya. Setelah check in di sebuah hotel dekat Gare de Lyon, ia segera keluar. Tak mau menghabiskan sore hanya duduk berdiam di dalam kamar. Senja di The City of Lights terlalu sayang untuk dihabiskan dengan hanya berleyeh-leyeh.

Jarak dari hotelnya ke Eiffel tower hanya 4 kilometer, dan Delina memutuskan untuk berjalan kaki saja. Lagipula siapa yang mau melewati sunset dari puncak menara Eiffel, kan?

Delina ikut mengantri bersama beberapa turis untuk dapat naik elevator menuju puncak menara Eiffel. Sekarang bukan musim liburan, jadi antrian tidak terlalu panjang.

Setelah berhasil naik ke puncak, hatinya merasa aneh. Matahari senja yang berwarna jingga keemasan itu mulai merangkak turun. Ribuan lampu dibawahnya seolah dinyalakan secara bersamaan. Membentuk cahaya-cahaya yang menerangi malam. The City of Lights. Delina tak paham mengapa justru pada saat sekarang hatinya merasa sakit. Harusnya ia sekarang bahagia. Mungkin memang tidak akan ada manusia yang paham tentang urusan hati. Tentang perasaan, dan rasa sakit.

"Udah tiga tahun, Ji..."

***
Jakarta, 7 Januari 2014.

Tulisan besar-besar di papan tulis kelas itu menghujam kepalanya. Serentet tugas dan ulangan minggu itu memenuhi benaknya. Akhir pekannya akan terasa pekat dan pahit, seperti rasa kopi kesukaan Bapak. Fisik dan batinnya sudah terlalu lelah. Tulisan 'Kira-kira H-3 bulan UAN, semangat teman-teman :*' memenuhi papan tulis lainnya, yang mau tidak mau memberikan sedikit semangat bagi penghuni kelas itu.

Delina memandangi teman-teman seperjuangannya. Orang-orang yang akan menjadi orang-orang yang akan sangat dirindukannya ketika ia melangkah keluar, dan melepas seragam putih abu-abu yang selama tiga tahun menjadi identitasnya.

Dan sosok itu tertangkap oleh retina matanya. Duduk di barisan keempat dari depan. Asyik menekuni gitar usangnya. Memetik lagu kesukaannya, dan mungkin kesukaan orang tuanya. Lagu jadul. Delina tidak mengetahui isinya, dia memang bukan pecinta lagu-lagu jadul. Ia hanya pernah mendengarkan lagu itu ketika berada di dalam bus malam jurusan Jakarta-Jogja. Lebih dari itu, ia tidak tahu lagi. Ia tidak terlalu suka bus. Ia lebih memilih kereta. Ia selalu suka warna hijau pada tiang-tiang penyangga stasiun Gambir, dan selalu ingin tahu bagaiman rupa stasiun Gare de Lyon di benua biru sana.

Gadis itu menoleh lagi. Sudah beberapa bulan belakangan laki-laki yang memetik gitar usang itu menyita pikirannya. Lebih dari pada itu, mengacaukan jam tidur malamnya. Delina mendengus sebal, kapan laki-laki mau mengerti? Hah.

Manusia penuh hormon testosteron. Selalu mengedepankan logika. Dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan hati. Mereka yang tidak pernah bisa paham cara kerja otak wanita. Cara kerja hati yang selalu mengedepankan perasaan untuk menyelesaikan masalah. Cara kerja pikiran yang selalu membentuk presepsi-presepsi aneh yang bahkan tidak nyata. Dan berujung kepada kepatah-hati-an.

Mungkin semua wanita menderita erotomania.

Tak terkecuali Delina. Berbulan-bulan otaknya meyakini hatinya bahwa perasaannya hanya bualan. Khayalan alam bawah sadarnya. Namun hatinya menolak mengakui. Perasaanya kembali menang. Selalu menang.

Sampai pada suatu ketika ia dihadapkan pada sebuah kenyataan mengejutkan, dan menyedihkan.

Dan mulai hari itu ia berjanji tidak akan membuat presepsi yang aneh-aneh lagi. Ia berjanji untuk berhenti mengidap erotomania.

***
Jakarta, 24 Mei 2014. 07.00 WIB.

Hari ini pengumuman hasil UAN. Seluruh pelajar SMA sederajat kelas 3 se-Indonesia pasti gelisah.Hari itu Delina dan seluruh teman seangkatannya berdiri di lapangan basket. Harap-harap cemas, menunggu orang tua mereka yang telah berada di kelas-kelas.

07.15.
Speaker sekolah berbunyi gemerisik yang langsung menimbulkan efek. Kerumunan putih abu-abu yang ribut sekali tadi itu mendadak diam.

"SELAMAT UNTUK SELU..." pengumuman itu belum selesai, namun kerumunan tadi mendadak histeris. Banyak yang menangis, berpelukan satu sama lain, dan bersujud mengucap syukur.

Cat-cat semprot dikeluarkan dan dalam hitungan menit, seragam putih mereka berubah menjadi warna-warni. Spidol-spidol permanen diedarkan. Bergantian mereka menandatangani baju temannya. Sambil tertawa dan berpesan untuk jangan saling melupakan.

Delina sedang membereskan barangnya dan mengenakan cardigannya saat ia mendengar langkah kaki mendekat. Koji, panggilan sayang teman seangkatan untuknya itu telah menjadi nama keduanya. Laki-laki yang bermain gitar usang. Laki-laki yang bernyanyi lagu-lagu jadul.

"Ada apa, Ji? Baju lo udah gue tanda tangani kan?"

Koji terlihat salah tingkah, ia mencoba terkekeh namun Delina tetap terdiam. Suasana kali itu terasa janggal. Delina sudah berjanji tidak akan terkena erotomania lagi. Jadi ia menganggap obrolan ini bukanlah apa-apa.

Koji mengangsurkan sebuah amplop yang diyakini Delina merupakan sebuah amplop. "Ini, Lin. Gue cuma mau ngasih ini. Maaf gue pengecut. Selamat udah lulus. Jangan lupa sama gue ya ntar." Koji tersenyum hambar.

"Makasih, Ji. Lo kali yang bakal lupa sama gue."

Dan Koji berlalu pergi tanpa pernah berkata apa-apa lagi. Delina menatap amplop biru digenggamannya yang perlahan mulai basah akibat tetes-tetes bening dari pelupuk matanya.

Dear Delina...

***

Tepi Sungai Seine, Paris, 19 November 2017.

Delina memandangi aliran air di hadapannya yang gelap, kehilangan cahaya yang kalah beradu dengan pekatnya malam. Aliran air yang hanya beberapa kali terlihat kilaunya saat sebuah kapal dengan dek terbuka yang mengangkut turis lewat. Lampunya dengan kejam membelah kelamnya sungai Seine malam hari. Klaksonnya terdengar angkuh, kontras dengan tenangnya aliran sungai Seine pada malam hari.

Matanya menyipit, menatap tajam sebuah kapal ber-dek terbuka yang sedang melintas. Terdengar kerumunan turis-turis yang berseru-seru gembira. Berbagai bahasa berbeda yang tidak dimengertinya tertangkap oleh telinganya.

Delina tertawa dalam hati. Melakukan sight-seeing sungai Seine pada malam hari di bulan November? Konyol. Namun sebuah kenyataan menampar perasaannya. Setidaknya para turis yang berseru kedinginan itu bahagia.

Angin November yang membawa gigil itu kembali berhembus. Membuat Delina bergidik, bulu kuduknya meremang. Sudah semakin malam. Delina berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Memeluk erat kedua humerus nya, atau beberapa kali memasukkan kedua telapak tangannya kedalam kantung mantelnya yang hangat. Gerakan tangannya berhenti saat ujung jari manis kirinya menyentuh sebuah benda tipis bertekstur. Segera Delina mengeluarkannya.

Surat dari Koji...

Delina memandangi amplop biru itu selama beberapa saat. Membiarkan dirinya ikut terbawa arus nostalgia yang sedang dilakukan otaknya. Delina menutup matanya, merasakan angin November itu kembali berhembus, masuk melalui sela-sela benang wol syalnya. Namun sensasi itu diabaikannya. Kenangan masa lalu lebih menyenangkan untuk dirasakan.

Setelah detik ke empat belas, Delina membuka matanya. Dan tersenyum sedih.
"Lo bohong, Ji. Sekarang sembilan belas november, sekarang tepi sungai Seine, sekarang jam tujuh malam. Tapi nggak ada apa-apa."

Setelah jarum pendek pada arlojinya menunjuk ke angka 8, Delina bergegas pergi meninggalkan ketentraman sungai Seine. Mampir di sebuah cafe teras untuk membeli satu cup kopi panas, dan croissant keju, temannya untuk perjalanan pulang.

Delina memutuskan untuk mampir ke Eiffel tower lagi, ingin merasakan malam di taman yang mengelilingi Eiffel sambil minum kopi dan makan croissant. Eiffel di malam hari jauh lebih menakjubkan dibanding ketika siang hari. Lampu-lampu yang menempel pada badannya sudah dinyalakan. Dan hal itu menarik minat wisatawan lebih banyak lagi. Seolah Eiffel tower tidak pernah sepi.

Meluruskan lutut setelah berjalan seharian memang menyenangkan. Delina berbaring diatas rumput dan menutup matanya, merasakan semilir angin yang dengan bahagia membelai wajahnya. Ia akan mencoba bahagia, seperti turis-turis di sungai Seine tadi.

Tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Delina bergegas bangkit. Dadanya berdebar. Ia takut. Katanya high-skilled professional pickpockets are here. Delina bersiap berteriak saat kemudian matanya menatap kedua bola mata kelabu itu lagi. Kedua bola mata yang terakhir dilihatnya pada 24 Mei 2014.

"Koji..." Delina menatapnya tak percaya.

"Halo, Lin. Long time no see." Ia nyengir, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.

"Kata kamu sungai Seine. Kenapa Eiffel?"

"Tadi aku udah ke Seine. Lihat kamu. Tapi ternyata Eiffel malam hari jauh lebih romantis dibanding Seine yang gelap. Maaf ya..."

Delina mencoba menahan matanya yang mulai memanas. Perasaannya tak menentu. Sebal, marah, kecewa, sedih, bahagia, haru, tidak percaya, dan rindu berkumpul menjadi satu disana. Membentuk buliran-buliran bening yang meluncur turun tepat pada detik ke empat belas.

Ia tidak bisa lebih bahagia daripada ini.

***

November 6, 2013

gadis dan kaca kecil

Wednesday, November 06, 2013 0
gadis dan kaca kecil

"

Dia tertawa. Menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Matanya menyipit, namun aku masih bisa melihat cahaya kesenangan keluar dari sana. Bahunya naik turun seiring dengan tawanya yang menyenangkan itu. Tawa yang mau tak mau membuatmu tersenyum juga. Walaupun lelucon tadi sama sekali tidak lucu.

Caranya berjalan dan berbicara. Caranya membuat semua orang percaya dengan kata-katanya. Caranya membuat orang lain terpingkal dengan lelucon dan tingkah konyolnya. Segala cara yang membuat setiap orang menyukainya.

Seperti bau hujan di musim kemarau.

Atau bau wangi vanilla white musk kesukaanku.

Atau bau rendang Padang di bulan Ramadhan.

Dia dengan mudah membuat semua orang menyukainya.

***

Dia terkekeh lagi. Entah apa yang membuatnya kali ini tertawa. Aku rasa hal yang tidak begitu penting lagi. Namun kali ini sudah bukan tawanya yang menarik perhatianku. Aku sudah cukup hafal dengan tawanya sekarang. Jadi mendengarkan tawanya bukan merupakan sebuah hal baru bagiku.

Dia sering sekali tertawa dan terkekeh.

Kali ini tatapannya berbeda dari biasanya. Anak perempuan itu memandang kosong ke ujung lapangan basket sekolah kami. Aku mendadak terdiam. Tidak biasanya gadis ini melamun. Biasanya ia selalu tertawa, paling tidak tersenyum. Namun kali ini berbeda. Ia sekarang sering kali melamun, memandang ke arah ujung lapangan basket itu.

Kali ini ujung lapangan itu basah.

Hujan deras mengguyur kota kami. Tidak ada seorang pun yang berniat keluar dari bangunan. Namun gadis kecil tadi tetap berlari mendekati jendela kaca di ujung lorong itu. Kembali menatap ujung lapangan itu. Walau aku yakin objek pandangannya tidak ada disana.

Karena semua orang tidak keluar saat hujan deras begini.

Aku mendekatinya. Sekilas nampak tidak ada yang berbeda darinya. Kecuali tawa yang kuakui sedikit kurindukan itu. Aku mencolek bahunya pelan. Namun tidak ada respon. Akhirnya aku memanggilnya, melantunkan namanya. Oh tidak, hanya seruan. Bukan namanya. Aku bahkan tidak tahu namanya.

Dia menoleh, memandangku dengan tatapan aneh, curiga, entah apalah. Sambil sesekali terus memandang ke arah ujung lapangan basket disana. Nampaknya ada sebuah objek yang ditunggunya. Aku melihat segerombolan hormon testosteron itu bergerak berlarian menyebrangi lapangan basket. Berusaha lari secepat-cepatnya, menghindari tetesan air dari angkasa. Aku teringat niat awalku, bermaksud hendak bertanya kemanakah perginya tawa riang dan senyuman manisnya itu, namun langsung membatalkan niatku begitu kulihat kedua matanya.

Kedua bola hitam putih itu memancarkan binar-binar indah. Benar-benar indah. Aku terkesiap selama beberapa saat. Tahulah aku sekarang, gadis ini tidak bersedih. Gadis ini tidak tampak murung sama sekali. Gadis ini hanya sedang...

jatuh cinta.

"