atha's scrapbook

May 22, 2016

Sunday, May 22, 2016 0
Aku terhenyak pada kenyataan bahwa akulah yang selalu menulis tentang orang lain, tentang Tuhanku, tentang dunia, dan tentang rasaku. Tak pernah sekalipun aku pamrih.

Sampai hari ini,

aku iri.

Aku iri kepada mereka yang tanpa mereka sadari, mereka adalah inspirasi. Api penyemangat bagi seseorang untuk mengaryakan sesuatu.

Manakah sajak menguras tirta mata yang terlahir karenaku?

Pernahkah kata demi kata mengalir karena aku?

Adakah rindu yang menguar karena kehampaanku?

Aku bisa mati bahagia jika kau pernah bisa tunjukkan yang mana ada itu.

April 29, 2016

Kindly Help Me, Please!

Friday, April 29, 2016 0
Kindly Help Me, Please!
Few days ago I joined a cyberspace writing competition, and today I got an email telling me that I made it into the final!
SO, the judgement to decide the winner is based on the quality of the article, the number of how much the article is shared, and the number of pageviews.
And I want you to help me!

Kindly open and read my article. If you like it, share this article to your friends and relatives through your social medias!
 
Berjuanglah Wahai Pejuang Masa Depan, Demi Indonesia yang Sombong dan Egois

 The announcement will be on Monday, May 2nd 2016.
I will let you know, whether I win or lose :)
Thank you very much. Vielen Dank. Hvala puno. Terima kasih banyak!

Love,
Atha

April 3, 2016

Putih Abu-Abu

Sunday, April 03, 2016 2
Putih Abu-Abu
Draft yang ditulis sekitar wisuda kelulusan, Rina Sapih Abhiceka Cisya 2015, dan diedit serta dipublikasikan hampir satu tahun kemudian.
 

Tawanya sehangat matahari musim semi, tidak pernah berhenti memelukmu dari jauh. Sesuatu yang selalu kau rindukan ketika dunia gelap dan dingin. Sesuatu yang selalu membuatmu tersenyum dan tertawa lebih lebar lagi, seakan bahagia itu benar-benar nyata. Aku tahu kebahagiaan tidak akan abadi, namun saat bersamamu adalah salah satu dari ratusan saat dimana aku ingin membekukan waktu. Mengobati luka, dan bangkit kembali.

Waktu cemburu ketika kuhabiskan ia bersamamu. Ia terasa seperti mengorupsi dirinya demi mempersingkat pertemuan kita. Dua tahun. Seratus empat minggu. Tujuh ratus tiga puluh hari. Tujuh belas ribu lima ratus dua puluh jam. Ratusan ribu menit, puluhan juta detik, dan milyaran kenangan bersamamu.

Aku tidak pernah mengeluh ketika interaksi denganmu memakan waktu lebih banyak daripada yang kugunakan untuk bercengkrama dengan keluargaku di rumah. Aku justru menyukainya. Sangat menyukainya. Aku tidak pernah keberatan ketika harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang ketika sudah tidak ada matahari. Hanya agar aku bisa bertemu denganmu.

Kau mengajariku banyak hal. Bagaimana menyenangkannya tumbuh dewasa dan membuat kesalahan bersama. Jatuh cinta, patah hati, kesetiaan, dan pengkhianatan. Kau tahu, aku senang bahwa kaulah yang menjadi temanku merasakan hal-hal fantastis untuk yang pertama kalinya. Bagaimana membahagiakannya memperoleh balasan setimpal atas apa yang telah kita usahakan dengan peluh dan darah. Serta bagaimana menyedihkannya ketika kau tidak lagi menganggapku sebagai tempat berbagi suka dan lara, saat aku masih mempercayaimu atas mimpi dan rahasiaku.

Aku rasa hidup menampar kita masing-masing dengan kadar yang berbeda. Mungkin persimpangan di ujung jalan itu membuat kita tumbuh menjadi individu yang tak sama. Tapi tolong ketahuilah, rasa sayangku padamu tidak akan pernah berubah.

Kau selalu menjadi yang paling manis untuk dikenang. Karena banyak hal.

Ketika segala penatnya rutinitas menyedot habis kebahagiaan kita, kau selalu punya cara untuk membuatku tertawa dan bersyukur bahwa aku tidak sendiri. Bahwa bersama itu lebih menyenangkan dan patut untuk dipertahankan. Celetukan konyol, tingkah laku spontan, bahkan lelucon yang sama sekali tidak lucu pun mampu membuat semua orang disekitar kita ikut tertawa. Ikut bahagia.

Walaupun terkadang kau egois.

Bocah-bocah tujuh belas tahun yang selalu merasa dirinya sudah dewasa. Sudah mengerti segalanya tentang dunia dan cinta. Tidak mau mengalah. Tidak mau disalahkan. Sama-sama keras kepala. Merasa paling benar sendiri.

Beberapa kali kita berselisih. Yang kalau kupikir-pikir sekarang alasannya tidak masuk akal sama sekali. Tapi ketika itu kita menganut paham yang sekeras batu. Solidaritas harus selalu yang nomor satu.

Berpisah denganmu sedikit banyak mengajariku tentang berbagai macam hal. Bagaimana menjadi kuat dan besyukur, misalnya. Menjadi tangguh tanpa lindungan tangan-tanganmu yang dulu selalu menjagaku dalam jarak aman, dan membuatku sadar bahwa aku perlu bersyukur karena ternyata salah satu hadiah terbaik yang diberikan Tuhan padaku adalah engkau.

Persahabatan kita.

Mungkin aku tahu alasan mengapa seragam SMA berwarna putih abu-abu. Karena cerita yang mengiringinya sudah berwarna-warni tanpa kelabu :)

Selamat berjuang, Owi. Semoga sukses selalu.
 


Yang selalu kangen Owi,
Atha.

January 2, 2016

2036

Saturday, January 02, 2016 0
2036
Mungkin aku bukanlah mereka yang pantas kau dambakan, sayangku. Aku bukan gadis manis yang dapat dengan sempurna memoles bibir selihai koki handal memoles mentega di atas satu lembar roti. Aku bukan gadis penurut yang meng-iyakan semua yang ayah dan ibu katakan, duduk diam di rumah belajar menjahit dan menyulam. Aku juga bukan gadis tangguh yang bisa berlari mendaki dalam satu helaan napas. Tapi ketahuilah bahwa aku menyayangi dan memahamimu lebih daripada dirimu sendiri.

Dua puluh tahun lagi lilin di atas kue ulang tahunku akan berbentuk tiga dan delapan, sementara milikmu mungkin tiga dan sembilan atau bahkan empat dan nol? Entahlah. Aku bahkan belum mengenalmu.

Pada saat itu sayangku, orang-orang di sekitar kita akan melabeli kita dengan tulisan ‘dewasa’ besar-besar pada bagian depannya, anak-anak akan mulai masuk sekolah menengah, lalu kau dan aku akan mulai menuai garis-garis halus pada wajah kita yang tidak lagi kekanakan.

Seperti biasa, menjelang maghrib tiba aku akan berteriak kesal karena ketiga anak laki-laki kita sulit sekali disuruh mandi. Setelah seharian berurusan dengan povidone-iodin, resin komposit, dan beberapa orang pasien yang cerewetnya minta ampun, aku ingin mereka mendengarkan dan menurut kepadaku. Bau alkohol bercampur porselen -ahli kedokteran gigi menyarankan untuk mulai mengurangi pemakaian amalgam beberapa tahun yang lalu- yang menguar dari tubuhku membuatku semakin jengah. Aku tidak ingin kau pulang dan mendapatiku yang berbau porselen serta anak-anak yang bau matahari.

Namun pada akhirnya kau hanya tertawa. Kau terlalu keras pada mereka, katamu. Oh, aku hanya ingin anak-anakku tidak sakit. Lagi-lagi kau tersenyum, dan membuat sesalku menjadi berlipat-lipat karena belum sempat mengganti bau alkohol-porselen dengan bau kombinasi alkohol yang lebih manis, vanilla musk atau lavender, misalnya.

Aku tahu kau lelah. Lensa kacamatamu bercerita bahwa ada klien yang komplain terus menerus karena hasil rancanganmu tidak pernah memuaskan mereka. Mungkin kau juga akan bercerita betapa kesalnya kau hari itu ketika salah satu mesin produksi berhenti beroperasi dan tidak ada yang mau bertanggung jawab. Selanjutnya kita berdua akan mulai berbagi apa saja. Hukum, politik, sains, teknologi, kesehatan, sosial, agama, dan hal-hal paling menjengkelkan hari itu. Betapa seorang istri konglomerat memarahi dan memaki-maki asistenku karena biaya orthodonsi yang harus dibayarkan melebihi ekspektasinya. Aku kesal sekali. Aku tahu uang belanjanya berkali-kali lipat jauh diatas pendapatanku. 

Dinding-dinding rumah kecil kita di pinggiran kota Padang mungkin sudah bosan mendengar segala keluh kesah yang kita lontarkan setiap malam selama beberapa tahun terakhir. Setiap malam mimpiku berkeliaran kemana-mana karena aku tidak tahu apa yang akan esok kabarkan mengenai kariermu. Mungkin saja bulan depan KTPku akan bertuliskan Nusa Tenggara Barat. Atau Kalimantan Selatan. Atau bahkan Maluku Utara.

Oh, mungkin cerita kita akan berbeda dari yang sudah aku eksplanasikan. Mungkin kita tidak akan tinggal di pinggiran kota Padang. Mungkin kau tidak memakai kacamata dan pekerjaanmu tidak menuntut kita untuk selalu berpindah. Mungkin anak-anak kita tidak semuanya laki-laki (namun aku selalu ingin punya anak laki-laki banyak). Atau mungkin tidak pernah ada dua puluh tahun lagi. Siapa yang tahu, kan?

Tetapi jika aku sangat beruntung untuk bisa hidup dua puluh tahun lagi, aku akan merasa menjadi perempuan paling terberkati di dunia. Aku punya kau, teman berbagi segalanya menghadapi ratusan ribu hari yang aku jamin akan jauh lebih menyenangkan dibanding film-film Hollywood kesukaan kita.

Sampai ketemu, sayang. 

December 14, 2015

Would the World be Different without You?

Monday, December 14, 2015 0
Would the World be Different without You?
I was asked today,
What is the world’s problem you think you can solve?
What will you do to solve it?
And
Why does the world need you?

It hit me hard. Because before today, I only thought about my self, my family, my friends, and yeah sometimes my country, Indonesia. I have never thought that the world needs me. That I could be the one who can solve the world’s problem.

I was taught today to be more open-minded, to open my eyes to the world’s problem, to realize, and understand.

I just realized today, that the world could be different with my presence, that I live in it and have responsibility to make the world a better place, like Michael Jackson said on one of his songs, Heal the World.

The world could be a beautiful place to live in, when people stop judging before they know and understand others. People need to realize that differences mean nothing. We are all humans. We have same rights, needs, and responsibilities. We were just created in different packages. Like if we were all created the same, wouldn’t it be soooo boring, right?

So throw the differences away. Act like they don’t even exist.

Why do we need war, when we can share and spread the love?

It's nice you know, when we can live and learn together, understand each other.
Someone had ever said, "Mountains can never reach each other despite their bigness, but people can."

Go travel, go see the world. Open your eyes wider because the world is much much bigger than we've ever expected. Once you're there, go do something that could change the world, at least someone's life.

And finally, ask yourself,
would the world be different without me?

November 10, 2015

Rumah

Tuesday, November 10, 2015 2
Rumah
Kalau bagimu bahagia adalah terus berpindah, bagiku bahagia adalah menghirup satu meter kubik udara yang sama denganmu. Mengeksresi karbon dioksida dalam dimensi ruang yang sama, berbagi lelucon yang sama sekali tidak lucu, dan berbagi kehangatan kenangan yang sama.

Aku telah memutari bumi belasan ribu kilometer. Namun tidak ada yang terasa senyaman rumah. Tidak ketika tidak ada bayanganmu yang jatuh tepat pada bintik kuning di retina mataku, menimbulkan impuls yang membuat seluruh sel sarafku menari bahagia.

Kamu sama saja seperti waktu. Tidak akan pernah statis.

Berkata ‘ya’ pada pertanyaanmu beberapa tahun lalu sama saja menyetujui segala konsekuensi yang tersembunyi dalam setiap kalimat yang kau lontarkan.

“Aku bukan hidup dalam kurungan, entah teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu. Aku hidup bergesekan dengan ranting pohon, aliran sungai, sengatan matahari, dan tamparan dingin angin malam. Bersinggungan dengan warna kulit warna-warni, kota-kota gelap tak berlentera, dan milyaran kata-kata asing yang bahkan tak kupahami.”

Tidak. Aku sama sekali tidak lupa. Bagaimana caraku untuk bisa melupakan semua hal yang telah mengubah kelabu menjadi merah jambu?

***
Frankfurt am Main, dua bulan sebelumnya, pukul 2 pagi waktu setempat.
Aku sedang menekuni berlembar-lembar halaman jurnal tentang sejarah Uni Eropa berbahasa Jerman. Kepalaku sakit. Sudah 6 jam sejak aku membaca kalimat pertama pada jurnal yang pertama. Namun hingga saat ini aku masih belum bisa paham. Tujuh jurnal dengan segala kerumitannya itu aku tinggalkan begitu saja. Aku ingin tidur. Tidak peduli jika besok ada ujian akhir mata kuliah sejarah kebudayaan Uni Eropa.
Oh sial.
Maksudku hari ini.
Tepat tujuh jam lagi.

Aku rasa tidur selama lima jam sudah sangat lebih dari cukup.

Aku baru akan memejamkan mata saat tiba-tiba telepon genggamku berdering nyaring satu kali. Tanda ada sebuah surel yang masuk.

Semoga kabar dari yang ditunggu-tunggu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Calya Akayasa,
kemarin sial sekali. Aku lagi ambil gambar Manhattan skyline dari Brooklyn Bridge sambil pegang hape. Ceroboh, ya? Pasti kamu tahu kelanjutannya. Sekarang hapenya sudah berenang bareng ikan di East River.
Maaf buat semua messages di Line/sms/Whatsapp yang belum sempat kubalas. Maaf, buat semua kekhawatiran yang kemarin-kemarin.
Hari ini ujian akhir sejarah kebudayaan Uni Eropa, ya? Wah, aku tahu kamu pasti bisa. Kamu sudah hafal ratusan nama raja ratu yang mirip-mirip itu dari SMA, kan? Thesis nya gimana? Kapan sidang?
Sleep tight, and good luck for tomorrow. Saling mendoakan terus, ya. Jaga diri baik-baik, Cal.
You know I love you,
Alastair Haider
p.s. see you really really soon, Schatzi!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ternyata surel singkat itu mampu membuatku menangis ditengah kantuk yang tak tadinya tak bisa ditahan. Berbagai perasaan melebur menjadi satu. Lega, jengkel, dan rindu yang tidak tahu dimana ujungnya. Merasakan lelah dan khawatir secara bersamaan bukan merupakan perasaan yang menyenangkan.

Kubalas surel Asta lambat-lambat sembari menahan buliran bening air mata yang tidak mau berhenti.

Asta, tenyata pergi dari rumah membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan...

***
Jogjakarta, lima tahun lalu.
“Jadi... mau nggak Cal?”

Aku masih terdiam dan terengah-engah sembari memandangi ujung-ujung sepatuku yang tergeletak di atas paving block jogging track lapangan GSP. Ya, aku kehabisan napas setelah berlari sore mengitari GSP tiga kali.

Dan setelah ditembak Asta.

Aku mengatur napas satu persatu. Melihat Asta yang menatapku penuh harap.

“Harus banget ya, nanyanya pas aku lagi keringetan dan ngos-ngosan?”

“Calya...” Asta menahan gemas.

“Boleh, deh.”

“BOLEH, DEH? Cal, aku bukan lagi ngajak makan malam...” Asta menghela napas berat.

“Kamu maunya aku jawab pakai kalimat kayak apa? Iya, Asta. Aku mau jadi pacar kamu. Gitu?” Aku tersenyum jahil penuh kemenangan.

Akhirnya Asta tertawa lepas dan mengacak-acak rambutku yang penuh peluh. Lima detik kemudian ia mengeluh menyesal melakukan itu. Sekarang telapak tangannya lengket dan berbau tidak enak.

“Cal, obrolan kita nggak akan pernah garing, kan?”

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab yakin. “Nggak, lah. Kita punya pengetahuan dalam bidang berbeda. Kamu open-minded. Kamu teman diskusi paling seru yang pernah aku kenal, Ta. Jangan berubah, ya. Tetap ajarin aku soal kamera, gunung, atau mineral. Aku janji nggak akan bosan.”

“Iya, asal kamu juga nggak bosan-bosan kasih tahu aku soal dunia. Tentang sejarah peradaban manusia, politik, dan budayanya. Tentang mimpi-mimpi besarmu. Tentang hal yang paling kamu benci dalam satu hari. Tentang apa yang kamu pikir perlu kamu bagi.”

Aku tersenyum dan memandang Asta sayang. Lalu tiba-tiba tertawa saat aku mulai merasakan mataku memanas dan mengeluarkan air mata. Beberapa detik kemudian aku menjawab ada keringat yang masuk mata saat Asta bertanya kenapa.

Ya Tuhan, aku bahagia.
***
Jogjakarta, hari ini.

Hari ini hari pertamaku menjejakkan kaki lagi di Jogjakarta setelah kurang lebih dua tahun aku tinggal di Jerman menyelesaikan program beasiswa master. Hari ini harusnya Asta yang menjemput di bandara. Harusnya.

Tapi beberapa hari belakangan Asta sulit dihubungi. Meninggalkan kembali jejak-jejak kekhawatiran yang dua tahun belakangan selalu menghantuiku. Dua tahun yang naik turun seperti roller coaster. Dua tahun yang sempat membuatku ragu. Dua tahun yang ternyata lama sekali.

Selama dua tahun belakangan aku merasa jarak antara aku dan Asta bukan hanya Jerman-Indonesia. Lebih dari itu. Oke, aku tahu Asta sering keliling dari satu negara ke negara lain karena hobi dan pekerjaannya. Bukan, bukan jarak harfiah seperti itu. Tetapi jarak antar perasaan. Jarak yang akan terus mengecil dan semakin mengabur saat kau dan seseorang sudah memiliki koneksi rasa bahagia yang sulit diartikan. Aku menyebutnya jarak batin.

Sekarang aku merasa jarak batin antara aku dan Asta memuai, dan aku rasa aku perlu sedih juga khawatir.

Karena sesungguhnya jarak batin jauh lebih menyakitkan dibanding jarak geografis.

Namun aku bukan perempuan cengeng. Aku tahu aku bisa menjaga diri, begitu juga Asta.
***

Di hari ketiga Asta baru bisa dihubungi. Malam ini ia berjanji akan menjemput dan mengajak makan malam. Nostalgia, katanya. Hatiku berdebar. Aku akan bertemu Asta setelah dua tahun yang telah berhasil kami selesaikan.

Dan disanalah ia. Berdiri di depan pagar dengan hoodie biru dongker hadiah ulang tahun dariku tiga tahun lalu. Ia tersenyum. Namun aku merasa asing.

Dengan kikuk aku menghambur ke pelukannya.

“Halo lagi, Ta.”

Welcome home, Calya.” Asta mengecup puncak kepalaku. Aku merasa asing.

Asta melepaskan pelukannya saat sadar aku hanya terdiam satu menit berikutnya.

“Kamu nggak  apa-apa?”

Aku menggeleng pelan. “Yuk, keburu malam.”

Sepanjang perjalanan menembus angin malam Jogjakarta, aku hanya terdiam di atas jok motor. Asta terasa berbeda. Ia mengenakan parfum yang beda, punggung yang lebih lebar, model rambut, serta intonasi suara yang berbeda.

Mungkin Asta juga merasakan perbedaanku. Dibuktikan dengan tidak adanya perdebatan seru mengenai harga minyak atau penyetaraan kesehatan di atas jok motor seperti biasanya. Malam ini hanya hembusan angin dan deru knalpot yang terdengar.

Dua tahun bisa berarti banyak, ya, Ta.

Setelah memesan makanan, kami kembali terdiam. Sampai Asta bertanya basa-basi. Aku benci basa-basi.

“Ta, kita kenapa, ya?”

“Kenapa gimana?” Raut wajah Asta berubah bingung. Namun aku yakin sebenarnya ia mengerti.

“Beda. Apa karena udah nggak ketemu selama dua tahun? Atau semakin kesini kita semakin yakin kalau passion kita beda?”

Asta tertawa hambar. “Dari dulu passion kita juga udah beda, Cal. Tapi, iya. Jujur, aku juga ngerasain itu. Aku sempat hampir stress. Dulu, waktu aku punya banyak masalah, cerita sama kamu, diskusi sama kamu bisa bikin semuanya selesai. Dan bikin aku bahagia.

Dua tahun belakangan aku akui komunikasi kita jelek banget. Kamu mulai kuliah master, aku mulai kerja. Kamu sibuk, aku sibuk. Aku pergi keliling-keliling yang nggak setiap tempat ada akses internet. Dulu ketika aku pulang, ada kamu yang selalu siap nyambut. Dua tahun belakangan, nggak.

Aku ingin menangis. Jujur bukan obrolan seperti ini yang aku harapkan. “Aku juga punya mimpi yang harus aku kejar, Ta. Dan jangan kamu pikir cuma kamu disini yang rasain susah. Kamu kira hidupku gampang dua tahun belakangan?

Aku nggak mau bahas masalah long distance lagi karena toh sudah pernah kita bahas dan sekarang aku sudah pulang.

Tapi tahu nggak, Ta? Sekarang aku sudah bisa terbang juga. Aku memang sudah pulang, tapi aku nggak janji akan bisa lama berdiam.

Yang aku takutkan cuma satu. Jalur terbang kita beda, dan apa yang kita sebut ‘pulang’ juga akan berbeda. Menurut kamu, ‘pulang’ itu apa?”

“Pulang. Kembali ke rumah, Cal.” Asta terlihat yakin.

“Menurut kamu rumah itu apa?”

“Rumah itu tempat dimana kamu bisa menjadi dirimu sendiri tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Tempat dimana kamu bisa bahagia tanpa ada batas yang bisa kamu ukur.”

“Dimana?”

“Ayolah, Cal. Berhenti ragu. Kamu tahu jawabanku selalu sama. Bukan dimana, tapi siapa. Buatku, pulang, rumah, itu kamu.”

“Kamu selalu jalan, Ta. Gimana caramu pulang ke rumah? Aku selalu ingat bahwa kamu pernah bilang bahwa kamu bukanlah mereka yang terkungkung teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu. Buatku, rumah adalah yang bisa melindungi. Yang bisa memagari. Yang bisa kusebut dengan zona nyaman.”

Barriernya dilebarin dikit boleh, nggak, Cal?”

“Maksud kamu?”

Barriermu terlalu sempit. Sama aku, ayo kita lebarin barriernya jadi tepian dunia. Zona nyaman itu cuma sugesti. Percaya, deh, sama aku.

Perjalanan, petualangan kita lima tahun ini terlalu berharga buat ditukar dengan kata menyerah.”

Aku menatap Asta tanpa ekspresi. “Aku nggak ngerti.”

“Apa yang udah kamu dapat setelah pergi dari rumah?”

“Tenyata pergi dari rumah membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan.”

Asta tersenyum.

“Sakit, Ta. Nggak menyenangkan.”

“Rindu itu menyebalkan sekaligus membahagiakan. Rindu membuat kita sadar siapa yang benar-benar berarti siapa yang tidak.”

“Tapi kamu selalu pergi.”

“Pergi untuk pulang, Cal. Lagian nanti kalau aku pergi kamu bisa ikut.”

“Mana bisa...”

“Bisa, kalau kamu mau jadi rumahku. Tempatku pulang. Tempatku berbagi segalanya. Sedih, senang, bahkan kulit ayam KFC.”

“Katanya selama ini aku rumahmu? Selama ini juga kita sharing macem-macem, kok.”

“Berhenti pacaran, yuk?”

Aku menoleh kaget.

“Besok aku ke rumahmu lagi, ya. Mau ngomong sama ayah bunda.”

“Ta...”

“Terus ntar biar papah mamah ketemu ayah bunda.”

“Ta...”

“Terus biar bisa cepat diurus. Kata orang ribet, ruwet, tapi bikin bahagia, sih. Ntar aku mau designnya warna silver, kamu mau tambah warna apa? Ungu? Jangan. Gimana kalo...”

“Ta...!”

Akhirnya Asta menoleh. “Kok nangis, sih?”

“Aku udah nemuin rumah...”

“Iya, lah. Itu juga aku udah tahu. Jalan Manggis no. 37, kan? Kelamaan di Jerman, sampe lupa alamat sendiri?”

“ASTAAAAAAAA”

“Apa, sayang?”

Aku tertawa dan menghapus seluruh air mata yang keluar. Menghujani Asta dengan cubitan bertubi-tubi dan membuat seluruh pengunjung warung tenda pecel lele itu menoleh. Aku tidak peduli. Aku sudah bertekad untuk berhenti meragukan hal yang bahkan tidak perlu diragukan.

Aku bahagia.

Aku pulang pada rumah yang membahagiakan.