Kalau
bagimu bahagia adalah terus berpindah, bagiku bahagia adalah menghirup satu
meter kubik udara yang sama denganmu. Mengeksresi karbon dioksida dalam dimensi
ruang yang sama, berbagi lelucon yang sama sekali tidak lucu, dan berbagi
kehangatan kenangan yang sama.
Aku
telah memutari bumi belasan ribu kilometer. Namun tidak ada yang terasa
senyaman rumah. Tidak ketika tidak ada bayanganmu yang jatuh tepat pada bintik
kuning di retina mataku, menimbulkan impuls yang membuat seluruh sel sarafku
menari bahagia.
Kamu
sama saja seperti waktu. Tidak akan pernah statis.
Berkata
‘ya’ pada pertanyaanmu beberapa tahun lalu sama saja menyetujui segala
konsekuensi yang tersembunyi dalam setiap kalimat yang kau lontarkan.
“Aku bukan hidup dalam kurungan,
entah teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu. Aku hidup bergesekan
dengan ranting pohon, aliran sungai, sengatan matahari, dan tamparan dingin
angin malam. Bersinggungan dengan warna kulit warna-warni, kota-kota gelap tak
berlentera, dan milyaran kata-kata asing yang bahkan tak kupahami.”
Tidak.
Aku sama sekali tidak lupa. Bagaimana caraku untuk bisa melupakan semua hal
yang telah mengubah kelabu menjadi merah jambu?
***
Frankfurt
am Main, dua bulan sebelumnya, pukul 2 pagi waktu setempat.
Aku sedang menekuni
berlembar-lembar halaman jurnal tentang sejarah Uni Eropa berbahasa Jerman.
Kepalaku sakit. Sudah 6 jam sejak aku membaca kalimat pertama pada jurnal yang
pertama. Namun hingga saat ini aku masih belum bisa paham. Tujuh jurnal dengan
segala kerumitannya itu aku tinggalkan begitu saja. Aku ingin tidur. Tidak
peduli jika besok ada ujian akhir mata kuliah sejarah kebudayaan Uni Eropa.
Oh sial.
Maksudku hari ini.
Tepat tujuh jam lagi.
Aku rasa tidur selama lima jam
sudah sangat lebih dari cukup.
Aku baru akan memejamkan mata saat
tiba-tiba telepon genggamku berdering nyaring satu kali. Tanda ada sebuah surel
yang masuk.
Semoga kabar dari yang
ditunggu-tunggu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Calya Akayasa,
kemarin sial sekali.
Aku lagi ambil gambar Manhattan skyline dari Brooklyn Bridge sambil pegang hape. Ceroboh, ya? Pasti kamu tahu kelanjutannya.
Sekarang hapenya sudah berenang bareng ikan di East River.
Maaf buat semua messages di Line/sms/Whatsapp yang belum sempat kubalas. Maaf, buat
semua kekhawatiran yang kemarin-kemarin.
Hari ini ujian akhir
sejarah kebudayaan Uni Eropa, ya? Wah, aku tahu kamu pasti bisa. Kamu sudah
hafal ratusan nama raja ratu yang mirip-mirip itu dari SMA, kan? Thesis nya gimana? Kapan sidang?
Sleep
tight, and good luck for tomorrow. Saling mendoakan terus,
ya. Jaga diri baik-baik, Cal.
You
know I love you,
Alastair Haider
p.s. see you really really soon,
Schatzi!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ternyata
surel singkat itu mampu membuatku menangis ditengah kantuk yang tak tadinya tak
bisa ditahan. Berbagai perasaan melebur menjadi satu. Lega, jengkel, dan rindu
yang tidak tahu dimana ujungnya. Merasakan lelah dan khawatir secara bersamaan
bukan merupakan perasaan yang menyenangkan.
Kubalas surel Asta lambat-lambat
sembari menahan buliran bening air mata yang tidak mau berhenti.
Asta, tenyata pergi dari rumah
membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan...
***
Jogjakarta,
lima tahun lalu.
“Jadi... mau nggak Cal?”
Aku masih terdiam dan
terengah-engah sembari memandangi ujung-ujung sepatuku yang tergeletak di atas paving
block jogging track lapangan GSP. Ya, aku
kehabisan napas setelah berlari sore mengitari GSP tiga kali.
Dan setelah ditembak Asta.
Aku mengatur napas satu persatu.
Melihat Asta yang menatapku penuh harap.
“Harus banget ya, nanyanya pas aku lagi keringetan dan ngos-ngosan?”
“Calya...” Asta menahan gemas.
“Boleh, deh.”
“BOLEH, DEH? Cal, aku bukan lagi ngajak makan malam...” Asta menghela napas berat.
“Kamu maunya aku jawab pakai kalimat kayak apa? Iya, Asta. Aku mau jadi pacar kamu. Gitu?” Aku tersenyum jahil penuh kemenangan.
Akhirnya Asta tertawa lepas dan
mengacak-acak rambutku yang penuh peluh. Lima detik kemudian ia mengeluh
menyesal melakukan itu. Sekarang telapak tangannya lengket dan berbau tidak
enak.
“Cal, obrolan kita nggak
akan pernah garing, kan?”
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab
yakin. “Nggak, lah.
Kita punya pengetahuan dalam bidang berbeda. Kamu open-minded. Kamu teman diskusi paling seru yang pernah
aku kenal, Ta. Jangan berubah, ya. Tetap ajarin aku soal kamera, gunung, atau mineral. Aku janji nggak akan bosan.”
“Iya, asal kamu juga nggak
bosan-bosan kasih tahu aku soal dunia.
Tentang sejarah peradaban manusia, politik, dan budayanya. Tentang mimpi-mimpi
besarmu. Tentang hal yang paling kamu benci dalam satu hari. Tentang apa yang
kamu pikir perlu kamu bagi.”
Aku tersenyum dan memandang Asta
sayang. Lalu tiba-tiba tertawa saat aku mulai merasakan mataku memanas dan
mengeluarkan air mata. Beberapa detik kemudian aku menjawab ada keringat yang
masuk mata saat Asta bertanya kenapa.
Ya Tuhan, aku bahagia.
***
Jogjakarta,
hari ini.
Hari
ini hari pertamaku menjejakkan kaki lagi di Jogjakarta setelah kurang lebih dua
tahun aku tinggal di Jerman menyelesaikan program beasiswa master. Hari ini
harusnya Asta yang menjemput di bandara. Harusnya.
Tapi
beberapa hari belakangan Asta sulit dihubungi. Meninggalkan kembali jejak-jejak
kekhawatiran yang dua tahun belakangan selalu menghantuiku. Dua tahun yang naik
turun seperti roller coaster. Dua
tahun yang sempat membuatku ragu. Dua tahun yang ternyata lama sekali.
Selama
dua tahun belakangan aku merasa jarak antara aku dan Asta bukan hanya
Jerman-Indonesia. Lebih dari itu. Oke, aku tahu Asta sering keliling dari satu
negara ke negara lain karena hobi dan pekerjaannya. Bukan, bukan jarak harfiah
seperti itu. Tetapi jarak antar perasaan. Jarak yang akan terus mengecil dan
semakin mengabur saat kau dan seseorang sudah memiliki koneksi rasa bahagia
yang sulit diartikan. Aku menyebutnya jarak batin.
Sekarang
aku merasa jarak batin antara aku dan Asta memuai, dan aku rasa aku perlu sedih
juga khawatir.
Karena
sesungguhnya jarak batin jauh lebih menyakitkan dibanding jarak geografis.
Namun
aku bukan perempuan cengeng. Aku tahu aku bisa menjaga diri, begitu juga Asta.
***
Di
hari ketiga Asta baru bisa dihubungi. Malam ini ia berjanji akan menjemput dan
mengajak makan malam. Nostalgia, katanya. Hatiku berdebar. Aku akan bertemu
Asta setelah dua tahun yang telah berhasil kami selesaikan.
Dan
disanalah ia. Berdiri di depan pagar dengan hoodie
biru dongker hadiah ulang tahun dariku tiga tahun lalu. Ia tersenyum. Namun
aku merasa asing.
Dengan
kikuk aku menghambur ke pelukannya.
“Halo
lagi, Ta.”
“Welcome home, Calya.” Asta mengecup
puncak kepalaku. Aku merasa asing.
Asta
melepaskan pelukannya saat sadar aku hanya terdiam satu menit berikutnya.
“Kamu
nggak apa-apa?”
Aku
menggeleng pelan. “Yuk, keburu malam.”
Sepanjang
perjalanan menembus angin malam Jogjakarta, aku hanya terdiam di atas jok
motor. Asta terasa berbeda. Ia mengenakan parfum yang beda, punggung yang lebih
lebar, model rambut, serta intonasi suara yang berbeda.
Mungkin
Asta juga merasakan perbedaanku. Dibuktikan dengan tidak adanya perdebatan seru
mengenai harga minyak atau penyetaraan kesehatan di atas jok motor seperti
biasanya. Malam ini hanya hembusan angin dan deru knalpot yang terdengar.
Dua
tahun bisa berarti banyak, ya, Ta.
Setelah
memesan makanan, kami kembali terdiam. Sampai Asta bertanya basa-basi. Aku
benci basa-basi.
“Ta,
kita kenapa, ya?”
“Kenapa
gimana?” Raut wajah Asta berubah
bingung. Namun aku yakin sebenarnya ia mengerti.
“Beda.
Apa karena udah nggak ketemu selama
dua tahun? Atau semakin kesini kita semakin yakin kalau passion kita beda?”
Asta
tertawa hambar. “Dari dulu passion kita
juga udah beda, Cal. Tapi, iya.
Jujur, aku juga ngerasain itu. Aku
sempat hampir stress. Dulu, waktu aku punya banyak masalah, cerita sama kamu,
diskusi sama kamu bisa bikin semuanya
selesai. Dan bikin aku bahagia.
Dua
tahun belakangan aku akui komunikasi kita jelek banget. Kamu mulai kuliah master, aku mulai kerja. Kamu sibuk, aku
sibuk. Aku pergi keliling-keliling yang nggak
setiap tempat ada akses internet. Dulu ketika aku pulang, ada kamu yang
selalu siap nyambut. Dua tahun
belakangan, nggak.”
Aku
ingin menangis. Jujur bukan obrolan seperti ini yang aku harapkan. “Aku juga
punya mimpi yang harus aku kejar, Ta. Dan jangan kamu pikir cuma kamu disini yang rasain susah. Kamu kira hidupku gampang
dua tahun belakangan?
Aku
nggak mau bahas masalah long distance lagi karena toh sudah
pernah kita bahas dan sekarang aku sudah pulang.
Tapi
tahu nggak, Ta? Sekarang aku sudah
bisa terbang juga. Aku memang sudah pulang, tapi aku nggak janji akan bisa lama berdiam.
Yang
aku takutkan cuma satu. Jalur terbang
kita beda, dan apa yang kita sebut ‘pulang’ juga akan berbeda. Menurut kamu,
‘pulang’ itu apa?”
“Pulang.
Kembali ke rumah, Cal.” Asta terlihat yakin.
“Menurut
kamu rumah itu apa?”
“Rumah
itu tempat dimana kamu bisa menjadi dirimu sendiri tanpa perlu ada yang
ditutup-tutupi. Tempat dimana kamu bisa bahagia tanpa ada batas yang bisa kamu
ukur.”
“Dimana?”
“Ayolah,
Cal. Berhenti ragu. Kamu tahu jawabanku selalu sama. Bukan dimana, tapi siapa. Buatku,
pulang, rumah, itu kamu.”
“Kamu
selalu jalan, Ta. Gimana caramu
pulang ke rumah? Aku selalu ingat bahwa kamu pernah bilang bahwa kamu bukanlah
mereka yang terkungkung teralis besi, susunan beton, atau anyaman bambu.
Buatku, rumah adalah yang bisa melindungi. Yang bisa memagari. Yang bisa
kusebut dengan zona nyaman.”
“Barriernya dilebarin dikit boleh, nggak,
Cal?”
“Maksud
kamu?”
“Barriermu terlalu sempit. Sama aku, ayo
kita lebarin barriernya jadi tepian
dunia. Zona nyaman itu cuma sugesti.
Percaya, deh, sama aku.
Perjalanan,
petualangan kita lima tahun ini terlalu berharga buat ditukar dengan kata
menyerah.”
Aku
menatap Asta tanpa ekspresi. “Aku nggak ngerti.”
“Apa
yang udah kamu dapat setelah pergi
dari rumah?”
“Tenyata
pergi dari rumah membuatku paham arti rindu yang berkepanjangan.”
Asta
tersenyum.
“Sakit,
Ta. Nggak menyenangkan.”
“Rindu
itu menyebalkan sekaligus membahagiakan. Rindu membuat kita sadar siapa yang
benar-benar berarti siapa yang tidak.”
“Tapi
kamu selalu pergi.”
“Pergi
untuk pulang, Cal. Lagian nanti kalau
aku pergi kamu bisa ikut.”
“Mana
bisa...”
“Bisa,
kalau kamu mau jadi rumahku. Tempatku pulang. Tempatku berbagi segalanya.
Sedih, senang, bahkan kulit ayam KFC.”
“Katanya
selama ini aku rumahmu? Selama ini juga kita sharing macem-macem, kok.”
“Berhenti
pacaran, yuk?”
Aku
menoleh kaget.
“Besok
aku ke rumahmu lagi, ya. Mau ngomong
sama ayah bunda.”
“Ta...”
“Terus
ntar biar papah mamah ketemu ayah
bunda.”
“Ta...”
“Terus
biar bisa cepat diurus. Kata orang ribet,
ruwet, tapi bikin bahagia, sih. Ntar aku mau designnya warna silver, kamu mau tambah warna apa? Ungu? Jangan. Gimana kalo...”
“Ta...!”
Akhirnya
Asta menoleh. “Kok nangis, sih?”
“Aku
udah nemuin rumah...”
“Iya,
lah. Itu juga aku udah tahu. Jalan Manggis no. 37, kan? Kelamaan di Jerman, sampe lupa
alamat sendiri?”
“ASTAAAAAAAA”
“Apa,
sayang?”
Aku
tertawa dan menghapus seluruh air mata yang keluar. Menghujani Asta dengan
cubitan bertubi-tubi dan membuat seluruh pengunjung warung tenda pecel lele itu
menoleh. Aku tidak peduli. Aku sudah bertekad untuk berhenti meragukan hal yang
bahkan tidak perlu diragukan.
Aku
bahagia.
Aku
pulang pada rumah yang membahagiakan.
awesome as always
ReplyDeletekeep your amazing work, tha! Im really sure, one day you can make your own book <3
I cant wait for that!
Liaaa, thank you. Same wishes for you ya <3
Delete