Mungkin aku
bukanlah mereka yang pantas kau dambakan, sayangku. Aku bukan gadis manis yang
dapat dengan sempurna memoles bibir selihai koki handal memoles mentega di atas
satu lembar roti. Aku bukan gadis penurut yang meng-iyakan semua yang ayah dan
ibu katakan, duduk diam di rumah belajar menjahit dan menyulam. Aku juga bukan
gadis tangguh yang bisa berlari mendaki dalam satu helaan napas. Tapi ketahuilah
bahwa aku menyayangi dan memahamimu lebih daripada dirimu sendiri.
Dua puluh tahun
lagi lilin di atas kue ulang tahunku akan berbentuk tiga dan delapan, sementara
milikmu mungkin tiga dan sembilan atau bahkan empat dan nol? Entahlah. Aku
bahkan belum mengenalmu.
Pada saat itu
sayangku, orang-orang di sekitar kita akan melabeli kita dengan tulisan ‘dewasa’
besar-besar pada bagian depannya, anak-anak akan mulai masuk sekolah menengah,
lalu kau dan aku akan mulai menuai garis-garis halus pada wajah kita yang tidak
lagi kekanakan.
Seperti biasa,
menjelang maghrib tiba aku akan berteriak kesal karena ketiga anak laki-laki
kita sulit sekali disuruh mandi. Setelah seharian berurusan dengan povidone-iodin, resin komposit, dan
beberapa orang pasien yang cerewetnya minta ampun, aku ingin mereka mendengarkan
dan menurut kepadaku. Bau alkohol bercampur porselen -ahli kedokteran gigi
menyarankan untuk mulai mengurangi pemakaian amalgam beberapa tahun yang lalu- yang
menguar dari tubuhku membuatku semakin jengah. Aku tidak ingin kau pulang dan
mendapatiku yang berbau porselen serta anak-anak yang bau matahari.
Namun pada
akhirnya kau hanya tertawa. Kau terlalu
keras pada mereka, katamu. Oh, aku hanya ingin anak-anakku tidak sakit. Lagi-lagi
kau tersenyum, dan membuat sesalku menjadi berlipat-lipat karena belum sempat
mengganti bau alkohol-porselen dengan bau kombinasi alkohol yang lebih manis, vanilla musk atau lavender, misalnya.
Aku
tahu kau lelah. Lensa kacamatamu bercerita bahwa ada klien yang komplain terus
menerus karena hasil rancanganmu tidak pernah memuaskan mereka. Mungkin kau
juga akan bercerita betapa kesalnya kau hari itu ketika salah satu mesin
produksi berhenti beroperasi dan tidak ada yang mau bertanggung jawab. Selanjutnya kita berdua akan mulai berbagi apa saja. Hukum, politik, sains, teknologi, kesehatan, sosial, agama, dan hal-hal paling menjengkelkan hari itu. Betapa seorang istri konglomerat memarahi dan memaki-maki asistenku karena biaya orthodonsi yang harus dibayarkan melebihi ekspektasinya. Aku kesal sekali. Aku tahu uang belanjanya berkali-kali lipat jauh diatas pendapatanku.
Dinding-dinding
rumah kecil kita di pinggiran kota Padang mungkin sudah bosan mendengar segala keluh kesah yang kita
lontarkan setiap malam selama beberapa tahun terakhir. Setiap malam mimpiku
berkeliaran kemana-mana karena aku tidak tahu apa yang akan esok kabarkan
mengenai kariermu. Mungkin saja bulan depan KTPku akan bertuliskan Nusa
Tenggara Barat. Atau Kalimantan Selatan. Atau bahkan Maluku Utara.
Oh, mungkin cerita kita akan berbeda dari yang sudah aku eksplanasikan. Mungkin kita tidak akan tinggal di pinggiran kota Padang. Mungkin kau tidak memakai kacamata dan pekerjaanmu tidak menuntut kita untuk selalu berpindah. Mungkin anak-anak kita tidak semuanya laki-laki (namun aku selalu ingin punya anak laki-laki banyak). Atau mungkin tidak pernah ada dua puluh tahun lagi. Siapa yang tahu, kan?
Tetapi jika aku sangat beruntung untuk bisa hidup dua puluh tahun lagi, aku akan merasa menjadi perempuan paling terberkati di dunia. Aku punya kau, teman berbagi segalanya menghadapi ratusan ribu hari yang aku jamin akan jauh lebih menyenangkan dibanding film-film Hollywood kesukaan kita.
Sampai ketemu, sayang.
No comments:
Post a Comment