Serbia, Eropa Timur.
Kalemegdan Fortress, my most favorite place in Belgrade
source: travelinos.com
|
Tidak pernah
sebelumnya aku menyangka akan menginjakkan kaki di tanah bekas pusat kejayaan
negara raksasa yang megah, Yugoslavia. Aku mengenal Serbia sekitar tahun 2010
saat tanpa sengaja aku bertemu dengan gadis hebatnya. Namanya Lejla Hamzić dan
aku hanya mengenalnya melalui media sosial. Kami bertukar cerita, mimpi, dan
keluarga. Sejak saat itu aku selalu berkata kepadanya bahwa suatu saat aku
ingin bertemu dengannya dan melihat Serbia, terutama kampung halamannya, Novi
Pazar. Saat aku berkata begitu lidahku enteng saja. Toh anak SMP bebas mau
mimpi semaunya. Tapi, aku selalu menyangsikan mimpi tersebut karena tidak akan
mungkin terwujud. Jarang sekali ada keterkaitan antara Indonesia dan Serbia.
Mungkin bila tidak kenal Lejla, aku tidak akan pernah tahu dan tertarik tentang
Serbia.
Hingga akhir
tahun 2015.
Aku
berkesempatan memilih negara tujuan untuk program pertukaran pelajar sebagai
relawan. Bayangkan itu. Aku bebas memilih. Pikiranku langsung menuju Serbia.
Aku ingin bertemu Lejla. Kenapa, sih penting sekali? Memang siapa Lejla sampai
diprioritaskan. Begini, bertemu Lejla adalah salah satu mimpi besarku kala itu.
Dan aku hidup untuk membuat mimpi-mimpiku jadi nyata. Oh ya, aku mendaftar Maroko
juga. Tapi mungkin Allah memang sudah menakdirkan bahwa aku akan bertemu
sahabatku di 2016. Akhirnya aku diterima menjadi relawan di sebuah proyek
pendidikan di Belgrade, ibukota Serbia. Menyesal? Tidak sama sekali. Malah
sekarang Belgrade menjadi salah satu yang sangat aku rindukan.
Tidak banyak
yang aku ketahui tentang Serbia selain dari cerita-cerita Lejla. Hingga saat
aku pertama kali menghirup udara Belgrade setelah belasan jam penerbangan
melelahkan dari Jakarta. Aku merasa benar-benar berada di tempat yang asing.
Dan aku senang sekali. Aku dijemput oleh Sara, EP Buddy ku, yang terkejut saat
tahu umurku baru18 tahun. “18? And you’re
not afraid going abroad thousand miles just by yourself?” Oh percayalah
Sara, aku takut. Aku menangis satu hari sebelum berangkat karena tidak yakin
aku berani. Tapi Allah memang Maha Baik. Ia memberikanku teman seperjalanan
sampai transit di Paris. Perjalanan Paris-Belgrade baru aku benar-benar
sendirian. Makasih, Kak. Sukses master
degreenya di UK :)
our small house |
Skender Begova street. Jadi rumahnya itu masuk ke gang sebelah mobil merah itu. |
Segera
setelahnya Sara membawaku ke rumah yang sudah mereka sewa untuk ditempati oleh
semua peserta pertukaran pelajar tersebut. Hari itu aku bertemu dua orang
Turki. Arda dan Ă–zlem. Rumah dua lantai tersebut mungil dan cantik. Kamarnya
ada 3 dengan 2 kamar mandi dan dapur. Aku masih ingat sekali betapa dinginnya
rumah itu saat pertama kali kami masuk. “Sudah lama kosong,” kata Ana, VP
iGCDP. Rumah tersebut terletak di jalan Skender Begova yang berada kawasan Dorćol,
hanya sepuluh menit berjalan kaki dari Trg Republike. Sangat strategis dan
lingkungannya sangat menyenangkan untuk ditinggali. Dekat sekali dengan
Skadarlija, restoran tradisional kuno yang selalu menjadi tujuan wisata di
Belgrade.
My first night there was a nightmare.
Internet di
hapeku nggak mau jalan. Koperku masih
nyangkut di Paris. Aku lagi dapet. Ditinggal sendirian di rumah sama
Arda & Ă–zlem yang nggak tahu pergi kemana sama teman-teman mereka
masing-masing. Dan yang paling parah, heaternya nggak panas sama sekali. Winter
night in Eastern Europe without heater. Rasain sendiri, deh... Setiap
beberapa jam sekali aku ke dapur, menaruh tangan dan muka di atas kompor.
Saking dinginnya. Bolak-balik sms Ana & Sara, dan mereka ngotot kalau tidak
ada masalah dengan heater nya. Malam
itu aku hanya smsan sama Lejla dan Dzenana, kakaknya Lejla yang kuliah di
Belgrade. Berkali-kali di-astaghfirullah-in
Lejla karena katanya kasihan. Sambil mewek
karena sedih kok ikut exchange begini
amat.
Keesokan
harinya semua sudah agak mendingan. Pagi-pagi aku ketuk kamar Ă–zlem minta
pembalut sambil mengajaknya beli roti. Tapi Ă–zlem tidak berminat. Nggak tahu semalam pulang jam berapa.
Akhirnya aku berjalan ke convinient store
dekat rumah sendirian. Sebenarnya ada Pekara (toko roti) dekat rumah, tapi aku nggak tahu kenapa aku nggak kesana pagi itu. Di shop&go aku beli air mineral, roti,
cokelat, dan teh. Diliatin gerombolan
anak sekolah dan ditatap tajam ibu kasirnya. Mungkin kaget lihat orang Asia.
Jilbaban lagi. Tapi setelah sering kesana ibu kasirnya jadi ramah sekali
terhadapku dan teman-teman yang kalau belanja berisik.
Siangnya, 5
orang exchange participants dari
Tunisia dan Ukraina datang! Alhamdulillah nambah isi rumahnya. Ada Khouloud,
Aymen, Haroun, Racha, dan Natalia. Tapi Racha nggak tinggal di Skender Begova. Dia akan tinggal di apartemen di UstaniÄŤka, stasiun terakhir trem
no 2 kalau dari Dorćol. Jauh. Aku pernah kesana satu kali. Lebih enak di
Skender Begova, hehe. Di rumah UstaniÄŤka selain Racha ada Ugur, Hakan, Mey dan
Ninel. Sementara itu, rumah Skender Begova ketambahan Zeynep, Alex, dan Valeri
yang datang agak telat.
Berkali-kali
aku telepon pihak maskapai karena koperku belum juga diantar, hingga di hari
ketiga akhirnya sampai juga. Internetku juga akhirnya mau jalan. Dibantu Lejla
suruh pencet ini-itu karena aku tidak mengerti bahasa Serbia, setelah sebelumnya
menghabiskan pulsa menghubungi customer
service yang tidak pernah menjawab. Bersyukur alhamdulillah Lejla baik
sekali, tidak seperti orang Serbia lain yang menyerah begitu saja.“Nggak ngerti aku, Athaya.” “Maaf ya, nggak tahu.” Ya sudahlah.
Mengajar - Pertama Kali jadi Guru
Beberapa hari
setelahnya aku diantar Staša ke sekolah yang akan menjadi tempat kerjaku enam
minggu ke depan. Hari itu hujan gerimis, dan kami bertemu di depan National Theater, lalu berjalan ke Zeleni Venac, terminal besar tempat banyak bus
berhenti. Staša bilang kami harus naik bus 52 menuju Zarkovo. Perjalanan ke
Zarkovo 40 menit, dan Zarkovo ini terletak di pinggiran kota Belgrade. Kami turun
di halte Zarkovo Spomenik, di belakang sebuah supermarket besar. Sekolah itu
bernama Osnovna škola Ljuba Nenadović. Sebenarnya awalnya aku akan mengajar bahasa
Jerman dasar di Osnovna škola Vuk Karadžić di daerah Železnik sekitar 50 menitan naik bus 511 dari stasiun utama Belgrade,
tempat Natalia mengajar. Namun sekolah tersebut tidak jadi mau menerimaku
karena aku bukan orang asli Jerman. Akhirnya mereka mencari sekolah baru, dan
jadilah aku mengajar di Oš Ljuba Nenadović, sekolah paling baik sedunia <3
Hari pertama
kesana aku dan Staša bertemu kepala sekolahnya untuk membicarakan jadwal dan
materi mengajar. Ibunya kurang bisa bahasa Inggris, jadilah Staša translator
diatara kami berdua. Ia berkata bahwa lebih enak naik bus 37 karena bus 37
lebih sering ada dan lewat Dorćol, jadi aku nggak
perlu jalan lumayan jauh ke Zeleni Venac. Lalu aku juga bertemu guru bahasa
Inggris, Mrs. Natasha yang sumpah mirip sekali dengan Ana Kendrick. Baik banget lagi. Mereka bilang akan
menyediakan makan siang setiap aku mengajar, dan makanannya selalu enak.
Lengkap sampai dessert, dan porsinya
selalu banyak. Kalau aku nggak habis
selalu dibungkus dan disuruh bawa pulang! Alhamdulillah. Teman-temanku yang
mengajar di sekolah lain nggak ada
yang dikasih makan kayak aku, hehe.
Hari pertama
mengajar.
Aku gugup
setengah mati. Masalahnya dari Indonesia sudah mempersiapkan segala hal lucu
dan imut karena perkiraanku aku akan ngajar anak umur 6-8 tahunan. Ternyata aku
dapat murid kelas 8, yang umurnya 14 tahun. Umur-umur susah diajak kompromi.
Kalau aku aneh bakal jadi gosip karena umur segitu udah pintar ngomongin orang, kan? Tapi ternyata aku
salah. Mereka baik sekali. Cerewet tanya ini itu. Bahkan di pertemuan kedua
mereka ngasih aku permen, karena hari
sebelumnya aku bawa ting-ting kacang.
“This
is Serbian candy and we want you to try this. Please try and tell us what you
think.” :”) Itu pertama kalinya aku terharu karena ada yang baik sama aku.
Aku juga dikasih satu jar besar selai plum sama Anja. Katanya ini buah khas
Serbia, dan selai ini dibuat sendiri sama neneknya. Selainya enak sekali. Aku
makan roti tiap pagi sama selainya. Hvala, Anja! Di hari terakhir ngajar aku
bahkan dikasih satu goodie bag yang
isinya dua bungkus Smoki besar, satu kotak Plazma čoko, Najlepše želje isi cookies, karena mereka tahu aku suka sekali
semuanya:”) dan juga... frame foto berisi fotoku bersama mereka yang di bagian
belakangnya mereka tanda tangani dan mereka tulis “kami akan merindukanmu”. Ya,
pakai bahasa Indonesia.
Mereka memelukku erat sekali hari itu. “Jangan lupakan
aku, Athaya.” “Kalau kamu ke Belgrade lagi, cari aku ya.” “Athaya kalau ke
Belgrade nginep rumah aku aja!” “We
will miss you, Athaya.” Sedih :”) Nedostajes mi, guys!
Aku juga
diberi hadiah oleh sekolah. Berupa buku karangan Ivo Andrić, penulis Serbia
yang pernah meraih hadiah nobel. Judulnya Signs by the Roadside, yang kata Mrs.
Natasha cocok untukku.
Mrs. Natasha
juga memelukku erat sekali sore itu. Beliau nangis :”) Aku berkali-kali
meyakinkannya untuk tidak sedih karena bukan tidak mungkin kami akan bertemu
kembali. “Take care, Athaya. Thank you.”
Oh, mrs. Natasha, aku yang seharusnya berterima kasih:”))
hadiah dari sekolah:3 |
Banyak
sekali yang aku dapatkan selama ngajar. Aku nggak
ngajar, sih. Mungkin lebih tepatnya sharing. Tentang Indonesia, mimpi, dan
hal-hal remaja lainnya. Dari mereka aku banyak mendapat ilmu baru. Sejarah
Yugoslavia, bagaimana perang dunia berpengaruh terhadap Serbia, penjajahan
Turki Usmani, bahasa Serbia, dan kebanyakan makanan.
Makanan Serbia
Aku penggemar
berat KolaÄŤi, kue-kue manis khas Serbia. Seriusan. Nggak ada KolaÄŤi yang nggak enak.
Favoritku Bajadera dan ÄŚupavci. Baklava juga, tapi itu kue Turki, sih. Karena
tahu aku suka sekali KolaÄŤi, di hari terakhir aku mau pulang Sara bikinin aku KolaÄŤi :”) dan orang rumah cuma aku bolehin nyicip satu orang satu suap karena secinta itu aku sama KolaÄŤi.
KolaÄŤi. source: slatki-zalogaj.hr |
Selain KolaÄŤi,
aku juga cinta banget sama PalaÄŤinke (pancake). Di Serbia, pancake itu
bentukannya lebih mirip crepes basah gitu, bukan pancake a la Amerika. Aku
paling suka yang isi nutella, plazma, dan višnja. Plazma itu biskuit Serbia
(kalau yang untuk isi pancake ada yang bentuknya bubuk gitu, Plazma Mlevna.
Plazma mlevna ini juga enak banget dimakan pake susu dingin dan nesquik serius
ya Allah itu enak banget:”)), kalo višnja itu cherry. Di Belgrade ada tempat
makan PalaÄŤinke paling terkenal, namanya aku lupa pokoknya di belakang National Theater gitu, tapi aku kurang suka.
Aku lebih cinta sama PalaÄŤinke nya Roll Bar. Harganya cuma 180dinar atau sekitar 22.000rupiah untuk yang isi nutella,
plazma, dan višnja/banana.
Makanan
tradisional Serbia yang aku suka lainnya adalah Ćevapi. Ćevapi mirip sekali
dengan Pljeskavića, hanya beda bentuk saja. Namun aku lebih suka Ćevapi, hehe.
Waktu ke Jerman tahun 2015, aku cinta sekali dengan yang namanya Döner, kebab
khas Turki. Di Serbia Döner namanya Gyros, yang katanya berasal dari Yunani.
Baru tahu, kan, banyak keterkaitan antara Turki dan Serbia, juga Yunani, dan
negara-negara pecahan Yugoslavia lainnya? Aku juga baru tahu banyak dari
murid-muridku di sekolah :)
Lejla Hamzic dan Novi Pazar
Di awal-awal
cerita aku sudah banyak cerita tentang Lejla, tapi belum cerita gimana
detailnya waktu aku ketemu Lejla. Di minggu pertama aku di Belgrade, aku ketemu
Dzenana terlebih dahulu karena kan Dzenana kuliah di Belgrade. Kami janjian jam
9 pagi ketemu di patung kuda Trg Republike. Dzenana peluk aku berkali-kali
sambil bilang “I can’t believe you’re here. Oh my God, Atha.” Aku senang
sekali. Setelah bertahun-tahun hanya lihat Dzenana dari foto. Kami keliling
Kalemegdan karena aku belum pernah kesana. Lalu Dzenana mengantarku lihat
masjid yang hanya satu-satunya di Belgrade. Masjidnya kuno tapi bagus sekali.
Setelah itu kami makan siang dan berpisah karena Dzenana masih ada urusan yang
harus diselesaikan.
Di sekitar
minggu ketiga, aku ada libur kerja dan memutuskan untuk ke Novi Pazar selama 3
hari sewaktu weekend agar tidak mengganggu sekolah Lejla. Novi Pazar ditempuh
selama 6 jam naik bus. Aku ingat saat itu diantar Sara ke terminal untuk beli
tiket. Harga tiket Belgrade-Novi Pazar adalah 1300dinar atau sekitar
155.000rupiah. Aku naik bus hari Jumat jam 08.00 pagi. Jam setengah 7 pagi aku
sudah keluar rumah, beli roti di Pekara dekat rumah dan berjalan ke terminal
utama Belgrade. Kalau tidak salah ingat, sekitar 20menitan jalan kaki. Tinggal
di luar negeri memang bikin doyan jalan, ya. Kalau di Indonesia sih masukin
laundry atau ke indomaret aja naik motor haha:”)
Saat itu aku
agak was-was juga karena benar-benar sendirian, dan isi busnya kebanyakan orang
tua dan mereka nggak ngerti bahasa
Inggris. Yaudah Bismillah aja. Lejla berkali-kali bilang jangan turun kalau
busnya berhenti karena ternyata bus berhenti di setiap kota yang dilewati, dan
Novi Pazar adalah pemberhentian terakhir. Sekitar jam 2 siang bus memasuki Novi
Pazar dan aku senang setengah mati! Lejla bilang sudah di terminal bersama
Dzemila, adiknya, dan Dina tetangganya yang aku kenal juga.
Sewaktu aku
turun bus, aku memang lihat Lejla, tapi dia nggak
lihat aku. Aku berjalan ke arahnya dan berkata “Hai!” Ia menoleh dan
langsung memelukku erat sekali. Lejla sampai nangis... Dia lembut banget, sih orangnya. “Alhamdulillah
you’re here. I can’t believe you’re here... finally...” Ya, after 6 years of
praying and wondering we finally met for the first time.
<3 |
February 5th
2016, Novi Pazar, Serbia.
Sampai rumah
aku disambut hangat oleh mamanya Lejla, dan aku juga dimasakin Mantije, yang
enak sekali! Setelahnya aku dan Lejla hanya cerita-cerita saja, sambil melihat
surat-surat yang kami tulis dari SMP. Ya, kami beneran surat-suratan lewat pos
biar lucu hahaha.
Tiga hari
itu aku benar-benar serasa seperti berada di rumah. Tante, Om, sepupu-sepupu
Lejla bergantian berdatangan dan mereka semua kenal aku dan aku juga kenal
beberapa diantaranya. Kami bercanda, bercerita, dan bertukar hadiah. Senang
sekali berada di rumah saat jauh dari rumah. Alhamdulillah.
Aku juga
senang sekali saat akhirnya mendengar adzan di Serbia setelah kurang lebih 3
minggu tanpa adzan di Belgrade. Aku juga shalat jamaah bareng Lejla terus di rumah dan pernah satu kali di masjid setelah
sekitar 3 minggu shalat sendirian melulu
di Belgrade. Mungkin hal ini terdengar konyol sekali. Tapi aku senang sekali
saat tahu bahwa cara ibadahku sama persis dengan mereka. Yaiyalah sama, Tha. Wong
sama-sama muslim, kok. Tapi beneran it
feels soooooo amazing. Aku nggak bayangin
gimana rasanya shalat bareng ras seluruh dunia di Mekkah. Pasti lebih amazing...
Aku pulang
hari Minggu sore. Sore itu mamanya Lejla bercanda mulu “Udah, Atha tinggal
disini aja biar Lejla yang pulang ke Indonesia. Tukeran.” Haha. Ya Allah semoga
suatu saat Ibu bisa ketemu sama mamanya Lejla. Aamiin. Lejla nangis lagi di
terminal, dan aku bilang “It’s okay. We
can meet again someday. Really. We will.” Dan yang bikin nyes adalah dia
bilang “If we won’t, I hope we will meet
again in Jannah.” Ya Allah.......
I am so
grateful I got a friend like her. No, it’s more like sister. Now I just don’t
miss her, I miss the entire family there:”)
My International Family
<3 |
Cici bebe:3 |
Oh ya, orang
satu rumah tergila-gila sama Indomie goreng hahaha. Jadi ceritanya waktu itu
aku nemu Indomie goreng sewaktu belanja di supermarket. Yaudah aku beli. Sampai
rumah aku masak, terus aku suruh mereka cicip. “Oh my God what is it? Why I
never eat this kind of food. It’s so fckin good, Athaya!!!!” Mereka bahkan
lebih heboh sewaktu Indomie gorengnya aku dadar pake telor dibikin omellette mie. Aku sering sekali disuruh masakin omellette.
Iya, secinta itu mereka sama omellette Indomie goreng.
Aku
bersyukur aku kenal mereka. Walau kadang kelakuannya aneh-aneh bikin sakit
kepala, tapi aku tetap sayang. Aku juga merasa paling dilindungi karena aku
paling kecil disana! :P Aku punya 9 kakak di rumah, how amazing is that? Mereka manggil aku ‘sunshine’ hahahahaha sampai
semua orang ikut-ikut manggil begitu.
I don’t mind tho;)
Oh how I
miss you, kakak-kakak :(
Bedanya sama
Winterkurs Goethe yang aku ikuti tahun 2015, exchange ini pulangnya nggak barengan.
Jadi sedihnya berkali-kali dan aku benci sekali bilang goodbyes. Ă–zlem pulang pertama kali, lalu disusul Natalia yang
bikin aku sedih seharian dan nangis di kamar mandi. Lalu Arda tiba-tiba pulang
padahal sebelumnya bilang pulangnya lebih lama. Dan aku.
Aku pulang
tanggal 20 Februari. Pesawatku jam 06.20 pagi. Gila, nggak sih? Aku harus naik bus pertama jam 04.00. Malamnya aku
dilarang Zeynep tidur, dan jam 01.00 aku disuruh masakin omellette buat Zeynep
dan Aymen. Setelah itu aku ganti-ganti baju dan siap-siap. Sekitar jam 03.15
aku dianter Aymen, Zeynep, dan Khouloud jalan ke Zeleni Venac dan menunggu bus
pertama yang jam 04.00. Bus yang paling aku tidak suka. Bus nomor 72 jurusan
Zeleni Venac –
Aerodom Nikola Tesla. Akhirnya jam 04.00 datang. Aku sempat chatting sama Tayla (teman wintercourseku dari New Zealand) kalau
aku sedih sudah mau pulang terus dia bilang “Lucu ya, ingat nggak bulan lalu kamu nangis takut bakal
gimana-gimana. Sekarang malah sedih.” IYA BANGET!!:”)
BTW TAYLA AKU JUGA KANGEN BANGET SAMA KAMU :( :(
Yaudah itu
aku benar-benar sendirian dari jam 04.00 pagi ke bandara, sampai sana sekitar
jam 5. Gara-gara semaleman nggak
dibolehin tidur sama Zeynep, aku kayak passed
out gitu selama penerbangan Belgrade-Paris sampai nggak dapat sarapan huhu pramugarinya nggak bangunin aku :( Aku di bandara Paris 11 jam. Iya. 11 jam. Pesawat
ke Jakarta baru jam 8 malam padahal aku landing
di Paris itu jam 9 pagi. Sayangnya aku nggak
punya visa schengen jadinya nggak bisa
keluar bandara buat lihat Eiffel sedih ya. Semoga kapan-kapan bisa lihat Paris
beneran :) aamiin.
But another dream came
true at the airport.
Sudah dari
lama sekali aku penasaran gimana rasanya macarons paling enak sedunia, Ladurée.
Alhamdulillah sudah kesampaian :) Setelahnya aku terbang nonstop
Paris-Singapura. Transit satu jam di Singapura lalu landing Jakarta sekitar maghrib. Langsung pesawat ke Jogja habis
isya. Sampai kos jam 10 malam. Capek dan jet lag dan besoknya pretest anatomi
pertama :)) jadinya? Ya inhal hehehe.
***
The point is, this whole journey was
long enough to change myself into a better human. Now differences such as skin
colors, races, languages, habits, or personalities don’t matter to me anymore.
I can blend into any kind of situations or communities if I want to. But sadly
it wasn’t long enough because I still am craving for it. Now I can’t wait to be
involved in a bigger oppurtinities, bigger projects, bigger dreams.
Now I am more sure that dreams do
come true. I’ll put it in bold. YES. Dreams
do come true. But only if you want to make them to. That’s what happened
with me :)
So, I hope this passage sums up my
wonderful experience. I will edit this post later if I think I need to. If you’re
curious or interested you can contact me through my personal Line messenger or
my email athanadhira@gmail.com . or
if you don’t want me to know who you are, you can also ask me with anonymous
question on my ask.fm @athayanadhira.
Keep dreaming because
that's what makes you feel alive.
Love, Atha.
No comments:
Post a Comment