Ternyata mereka benar.
Kafein memberimu inspirasi. Makin banyak
kafein, makin banyak inspirasi.
Hari itu hari jumat biasa. Aku tetap
pergi ke sekolah dengan seragam batik dan rok span hitam polos. Konsep yang
sama dengan seragam pelayan restoran minang. Membuatku menyama-nyamakan
keduanya.
Seusai sekolah aku cepat-cepat pergi meninggalkan lembaga pendidikan tempatku bergantung selama tiga tahun itu. Jam 12.05.
Tujuanku dua, toko buku dan Dunkin
Donuts. Hari itu aku ingin menyendiri dan mencari inspirasi. Dan aku berhasil.
***
Siang itu panas sekali. Sebelum matahari
mencapai posisi tegak lurus dengan tempatku berdiri, aku segera bergegas menuju
gerai donat kenamaan itu. Jalanan cukup sepi, jalan di depan Masjid Jami’
ditutup. Semua tetap tampak normal. Tetap ada ibu-ibu yang berjualan kopi di
bawah jembatan penyebrangan. Angkot-angkot biru dengan label berbeda-beda tetap
melintas.
Kudorong pintu kaca sebelah kiri dengan
stiker ‘dorong’ dekat gagangnya. Hawa dingin menyambutku.
Syukurlah sofa
incaranku di pojok kanan itu kosong.
Sebelum pegawai itu bertanya, aku
terlebih dulu bilang, “makan disini.”
Ia mengambilkan piring kecil berlogo
Dunkin yang cukup untuk dua potong donat. Kulihat rak berisi donat-donat
dihadapanku, “yang hazelnut satu.”
Aku ingin kopi. Aku butuh kafein.
“Kopi nya satu.”
“Ice
Coffee?”, tanyanya.
“Eh, bukan. Hot Coffee.”
“Um, black
coffee satu?”
“Iya.” Aku mengangguk, tidak punya ide
lain. Kulihat pegawai itu menatapku heran. Mungkin jarang sekali ada cewek
berseragam sekolah yang pesan hot black
coffee di siang hari yang panas. Kebanyakan yang minum hot black coffee di siang hari adalah bapak-bapak berumur
produktif. Aku? KTP saja belum punya.
Gara-gara satu mug besar kopi hitam yang
pahit itu, sekarang aku merasakan seluruh saluran pencernaanku mual.
Terlalu banyak kafein.
***
Dulu aku selalu beranggapan orang tuaku
merupakan orang tua yang kejam.
Kala itu, semua temanku dibelikan play station.
“Namanya main itu, sama orang. Bukan
sama PS. Kalo mau main sana keluar rumah”, begitu jawaban bapak ketika aku
minta PS.
Dan jujur, aku harus berterima kasih
kepada Bapak. Sekarang aku paham kalau ternyata bermain masak-masakan dengan
pecahan genteng atau batu bata, jantung pisang, bunga jambu air, nangka muda, daun
kupu-kupu, bunga melati dan kembang sepatu justru jauh lebih meninggalkan kesan
dibanding dengan bermain PS.
-
Beberapa tahun sebelum maraknya PS, ada
sebuah konsol (jika aku tidak salah) yang hanya membutuhkan dua baterai AAA
atau tegangan sekitar 3 volt untuk bisa dimainkan. Untuk yang serinya lebih
canggih, mungkin butuh tiga baterai AAA atau 4,5 volt. Layarnya cuma berukuran kira-kira
3x6 cm dan hitam putih saja. Permainannya pun hanya satu, Tetris.
Game nya sederhana. Balok-balok akan
berjatuhan dengan bentuk yang sedemikian rupa dan kau harus menyusunnya hingga
menjadi seperti tembok yang rata. (in
case you didnt know). Sejak saat umurku dua tahun hingga detik ini, aku
selalu merasa Tetris adalah game paling
brilian yang pernah diciptakan.
Ketika anak seumuranku minta boneka
Barbie, aku minta dibelikan Tetris. Itu pun setelah merengek.
Akhirnya aku punya Tetris.
Mungkin orang tua ku terdengar tidak
mempedulikan anaknya. Tapi tunggu, ceritaku belum selesai.
Permintaanku akan PS memang tidak pernah
dikabulkan, namun aku punya cerita. Aku bahkan baru tahu beberapa bulan yang
lalu.
-
Ketika kecil, aku cerewet sekali. Terlalu
rewel akan hal-hal kecil. mungkin dalam 1 hari bisa ada ratusan pertanyaan gila
dan mungkin menjengkelkan bagi sebagian orang dewasa. Tapi ketika itu aku
bahkan baru berumur 1 setengah atau 2 tahun.
Aku menanyakan kepada ibuku kenapa aku
dan tetangga laki-laki depan rumahku berbeda. Kenapa perempuan dan laki-laki
itu berbeda.
Dan sebulan setelahnya bapak
membelikanku ensiklopedia tebal tentang anatomi tubuh manusia. Sebuah bacaan sangat
rumit untuk bisa dipahami oleh anak yang bahkan belum bisa membaca.
Dengan gambar yang ada di ensiklopedia
itu, bapak dengan sabar menjelaskan sesederhana mungkin mengapa perempuan dan
laki-laki itu berbeda.
-
Siapa bilang orang tuaku kejam?
Suatu hari sepulang dari dinas di kota,
bapak pulang membawa boneka Hello Kitty yang besarnya empat kali tubuh dua
tahunku. Besar sekali. Bahkan bisa aku jadikan kursi.
Dan setiap 18 Juni selama 8 tahun, ibu selalu
membuat kue ulang tahun yang spektakuler.
Black Forest yang pertama. Angka dua dengan
dua lilin. Lalu 3 gerbong kereta dan lilin angka 3. Tart kotak dengan segumpal
balon warna-warni dengan lilin angka 4. Begitu seterusnya hingga kue ulang
tahunku yang terakhir, tingkat 3 berwarna ungu dengan angka 8 di atasnya.
Aku tidak pernah ulang tahun atau
menghadiri ulang tahun di gerai ayam internasional seperti kebanyakan anak kota
lainnya.
Aku tumbuh di kota yang kecil sekali di
pedalaman Sumatera Selatan, oh bukan kota. Semacam ibu kota kelurahan. Bisa membayangkannya?
Bahkan dalam peta provinsi tidak kelihatan. Baru dalam peta skala kabupaten,
nama kota itu terlihat.
Tunggu, jangan dianggap remeh. Kota kecil
yang tidak kelihatan itu merupakan sebuah tempat dengan cadangan batu bara
paling besar di Indonesia. Dan dari batu-batu hitam bekas pelapukan purba
itulah kami makan.
Aku kecil hanya bermain timezone, ke
Gramedia, atau makan McD paling 4 bulan sekali. Setelah menempuh perjalanan
292km atau 4 jam perjalanan menggunakan mobil.
Tapi aku tidak pernah merasa nelangsa. Masa kecilku menakjubkan!
Aku tinggal di komplek perumahan dinas
tempat bapak bekerja. Notabene temanku bayi adalah teman sekolahku yang juga
adalah tetanggaku. Kami semua satu taman kanak-kanak. TK Antrasita. Lalu SD?
Mungkin terpisah, tapi kemungkinan SD di komplek itu hanya 3. Kalo nggak masuk SDN 8, ya SDN 10 atau SD
Xaverius.
Disitu juga banyak perantau, seperti
orang tuaku. Mereka ngobrol dengan bahasa jawa, masak makanan jawa. Dan kami,
anak-anaknya, ngobrol dan bercanda dengan bahasa Palembang, akibat pergaulan di
sekolah. Kami menamainya ‘baso doson’.
Perumahan kami masih dikelilingi hutan
asli. Ular kobra atau ular belang hitam kuning yang masuk ke rumah atau
tergeletak mati di jalan depan rumah merupakan pemandangan biasa. Bahkan kamarku
pernah kemasukan biawak (semacam buaya, tapi kecil).
Sudah pernah melihat segerombolan babi
hutan berjalan-jalan di depan rumahmu? Atau melihat monyet-monyet yang dengan
tenangnya memakan nangka masak di halaman belakang rumah? Mendengar ayam
peliharaan tetanggamu mati ditelan hidup-hidup oleh seekor ular? Atau ketika
lagi asyik bermain komputer ternyata ada ular belang yang lewat di depan kakimu.
Percaya deh, aku nggak bohong. Bahkan hobiku
ketika berusia tiga tahun adalah mengumpulkan luwing (kayak kaki seribu,
warnanya merah tua, kalo dipegang dia bakalan menggulung dirinya sendiri) sebanyak-banyaknya.
Dan kenapa aku nggak merasa nelangsa
adalah fasilitas di komplek perumahan itu keren banget. TV satelit udah ada,
dulu aku suka nonton Power Puff Girls di cartoon
network. Ada kolam renang, lapangan sepak bola, lapangan tenis, lapangan
basket, lapangan golf, bahkan helipad. Dan kira-kira ketika aku kelas 6, ada
tempat Biliard, bowling, dan futsal.
Satu lagi, semuanya gratis.
Dulu sih yang sering aku manfaatkan cuma
kolam renang. Kita berenang tiap minggu pagi.
Jujur,
bukan fasilitas disitu sih yang aku
kangenin dan aku banggain. Tapi kekeluargaannya itu.
Sebagian besar kan udah kubilang, perantau.
Dan itu yang membuat semua orang jadi keluarga. Waktu tinggal disana aku bisa ngerasain sekali maksud dari ucapan ‘tetangga adalah
keluargamu yang paling dekat’. Di kota besar mana bisa?
Selain tetangga-tetangga baik hati ku
itu, yang paling meninggalkan kesan adalah ‘kebun binatang’ di sekeliling
rumah. Hahaha.
Juga SD ku.
Aku menyebutnya SD Laskar Pelangi.
SD ku dulu hanya terdiri dari 6 kelas. 1
angkatan paling banyak 40 orang. 1 angkatan 1 kelas. Guru-gurunya pun paling
hanya 10 orang. Bangunannya sederhana, bahkan waktu aku kelas 3 hampir roboh. Langit-langitnya
merupakan sarang kelelawar, dan terkadang jika malamnya hujan lebat, atap
sekolah bocor.
Lapangan sekolah kami cuma lapangan
rumput dengan tiang bendera di pinggirnya. Baru ketika aku kelas 4, sebagian
rumput itu dipangkas dan di semen, untuk lapangan serbaguna. Bisa jadi lapangan
bulu tangkis, voli, bahkan sepak takraw.
Sekolahku nggak punya pagar. Ketika sore,
lapangan rumput itu jadi tempat menggembalakan sapi.
Dulu, tiap pagi siswa laki-laki selalu
menyekop kotoran-kotoran sapi yang ada di lapangan. Sementara yang perempuan, bagi
tugas. Ada yang menyapu kelas, menyapu ruang guru, atau mencuci piring. Hanya siswa
kelas 4,5, dan 6 saja yang melakukan itu semua.
Dan aku merasakan kerja bakti membersihkan
sekolah yang sesungguhnya ya pas SD. Bagi tugas.
Biasanya yang perempuan menyapu
kelas-kelas dan halaman sekolah, mengepel lantai, membersihkan jendela, bahkan
membongkar habis perpustakaan kuno itu dan membersihkannya.
Yang laki-laki ada yang merapikan rumput
di lapangan, membersihkan selokan dari lumut, memupuk tanaman, membakar sampah,
atau mencangkuli halaman belakang sekolah untuk ditanami singkong, pisang,
serta berbagai macam tanaman umbi seperti kunyit, jahe dan sebagainya.
SD ku baru punya komputer ketika aku
kelas 5. Itu pun hanya 6 biji. Dulu kita pakainya 1 komputer untuk 5 orang.
Sederhana sekali, tapi jangan salah. SD
itu menghasilkan lulusan-lulusan hebat, kok. Banyak yang sekarang jadi anak PTN
bergengsi, sebut aja ITB, UI, UGM, UB, UNSRI, bahkan ke luar negeri.
Nggak kalah kalau di adu sama anak
kota.
***
Intinya masa kecil saya menyenangkan. Banget.
Seneng banget bisa jadi bagian generasi
90an. Generasi ketika kita masih bersosialisasi dan berinteraksi dengan manusia
beneran. Mainin semua permainan yang pada dasarnya mengajarkan kerja sama,
tenggang rasa, dan saling menghargai.
Miris liat anak keciljaman sekarang.
Berantem rebutan tab, padahal belum
lancar baca.
Mainan mereka terlalu mengajarkan mereka
untuk menjadi individual.
How’s yours?
Tiap orang pasti punya cerita beda-beda.
Tapi saya percaya semuanya punya 1 kesamaan, yaitu menakjubkan.
***
Ditulis dalam keadaan benar-benar mual akibat kebanyakan kopi hitam yang pahit.
Sekali lagi mereka benar,
jangan menunggu inspirasi datang untuk mulai menulis. Mulailah menulis, dan inspirasi itu akan datang.
Malang, 30 Mei 2014
No comments:
Post a Comment