illustrated picture. found on Google images.
12 April 2014, 23.00WIB
Andera Kalista membisu di hadapan layar laptopnya. Pikiran serta
imajinasinya menyembur ke segala arah hingga membuatnya bingung. Garis batas
antara khayalan serta kenyataan semakin lama semakin memudar. Malam semakin
giat menghembuskan udara beku, membuat Andera tersadar dan segera menutup
jendela kamarnya. Ia menyentak jendela dengan kasar, sebal karena tak kunjung
mendapat ide. Andera tahu sekarang sudah pukul sebelas malam dan ia harus
segera mengirimkan draft cerpen ke
editornya sebelum pukul dua belas.
Satu jam lagi.
Apa yang bisa ditulis dalam waktu satu jam?
Seketika Andera membeku. Mungkin kali ini ia terpaksa harus
menulis sedikit cerita tentang masa lalunya. Ia sudah tidak peduli. 10 tahun
menjadi penulis tentu tidak akan membuat orang-orang berpikir bahwa itu adalah
kisah nyata.
Kesepuluh jari-jari Andera
perlahan mulai menari-nari dengan cepat di atas keyboard.
***
12 Mei 2014, 19.00WIB
Andera berkali-kali mengutuki dirinya. Perkiraannya salah,
salah besar. Lima menit yang lalu ia menerima email dari seseorang yang mengaku teman lamanya.
Tenang, Andera.
Mungkin ia hanya wartawan, batin Andera.
Sial, wartawan mana
yang tahu kalau ia pernah kejatuhan kotoran burung semasa SMA?
Sial.
Sial.
***
12 April 2014, 24.00WIB
Andera melihat sekali lagi draft itu sebelum dikirimkan ke editornya. Lumayan, batinnya.
Teruntuk wanita yang
hati dan perasaannya selalu menang. Percayalah terkadang kau harus menuruti apa
yang dikatakan logikamu. Kutulis cerpen ini dalam waktu satu jam ketika aku tidak
tahu harus membela yang mana, nyataku atau imajinasiku. Garis batas antara
keduanya sudah semakin mengabur.
Diamku dan Diammu
Semua yang kamu lakukan abstrak. Terkadang bisa membuatku
merah jambu, namun tak jarang kelabu. Memahamimu jauh lebih sulit daripada yang
kubayangkan sebelumnya. Mengerti jalan pikirmu yang entah ada berapa cabang.
Tahukah kamu aku memperhatikanmu lebih dari yang bisa kau tahu?
Caramu berjalan dan mengenakan mantel. Caramu tertawa dan
tersenyum. Caramu memandang ketika tertarik terhadap sesuatu. Dan luapan emosi
semangat saat kau bercerita dengan mata penuh binar.
Aku rasa aku mulai bisa
memahamimu.
Namun ternyata aku salah.
Kau jauh lebih rumit daripada trigonometri.
*
Angin bertiup kencang, memaksa beberapa helai daun untuk
melepaskan diri dari tempatnya bergantung. Aku melangkah pelan, mencoba
merasakan angin yang menari-nari diatas pakaianku. Angin yang sama dengan yang
menggugurkan daun. Beberapa burung merpati menoleh bingung saat dedaunan
disekitar tempat mereka berpijak mulai berguguran. Gemerisik semak dan gesekan
botol plastik pada aspal yang kering masih kalah berisik dibandingkan dengan perkelahian
antara otak dan hatiku. Selalu saja begitu. Entah apa yang melapisi hati
perempuan, hingga tak mau lagi mengenal kata logika.
Aku memilih satu diantara puluhan kursi itu untuk duduk dan
sekedar merapikan rambutku. Sudah sepuluh menit novel yang baru saja kubeli aku
biarkan terbuka. Kalimat pertama novel itu membuatku terlalu sibuk berpikir.
Aku dan kamu adalah
pantulan cahaya di kaca. Ada, namun tak nyata.
Dua anak perempuan berlari-lari kecil sambil berteriak
sebentar lagi akan hujan. Namun aku tetap bergeming. Apa yang selama ini kupertahankan,
ternyata balik menghujamku. Seluruh tubuhku bergetar menahan tangis. Ketika
tetes air hujan mengenai halaman pertama novel dipangkuanku, akhirnya aku
membiarkan pertahanan diriku runtuh. Kubiarkan tetes-tetes bening itu meluncur
turun melewati pipi, dan ikut membasahi halaman novel bersama air hujan.
*
Namanya Milo, seperti nama susu cokelat hangat kesukaanku. Jujur,
dia biasa saja. Dia bermain bola seperti anak laki-laki kebanyakan. Mengerjakan
tugas dengan seenaknya juga seperti anak laki-laki kebanyakan.
Selalu pinjam
alat tulis, lupa membawa pr, dan segala hal biasa lainnya.
Segalanya terlihat biasa saja,
Sampai ketika aku
tidak sengaja menemukannya menangis di balik rak buku di sudut paling belakang
perpustakaan sekolah.
Kala itu, ia terlihat sangat rapuh.
Aku tidak berani mendekatinya. Terlalu takut untuk ikut
campur. Setahuku, jika laki-laki sudah menangis, tentu masalahnya sudah tidak
bisa dianggap sepele. Namun aku tidak tahu lagi, aku bukan salah satu diantara
mereka.
Jadi, disinilah aku. Berdiri mematung dengan jarak sepuluh
jengkal dari tempatnya terduduk dan sesenggukan. Tentu saja aku bersembunyi. Aku
tidak ingin ketahuan stalking.
Waktu itu aku hanya seratus persen penasaran.
Tiba-tiba Milo bangkit. Matanya terlihat merah sekali.
Entah benar atau hanya perasaanku saja, namun matanya
berkilat marah menatap ke arahku. Mau tidak mau aku keluar dari rak-rak buku
itu. Sudah ketahuan.
“Lisa, jangan bilang siapa-siapa.” Ia mendesis serta
memalingkan muka. Mencoba menyembunyikan kedua matanya yang masih merah. Tanpa
diminta aku juga tidak punya rencana memberi tahu yang lain. Toh aku tidak
mengenalnya. Aku hanya menatap seadanya kemudian berbalik. Saat aku hendak
melangkah, ia memanggilku.
“Lisa...”
Aku menoleh, sebisa mungkin mengatur mimik wajahku agar
menampilkan tanda tanya yang besar.
“Aku mau cerita.” Sambungnya pelan.
Aku mematung selama beberapa detik. Cowok? Curhat? Aku baru mengenalnya
sejak tahun ajaran baru dimulai tiga bulan yang lalu. Dan cowok ini bilang mau
cerita? Sama aku?
Milo menepuk-nepuk lantai marmer disebelahnya. Aku menurut
saja. Tepat ketika aku duduk dengan sempurna di sebelahnya, kata demi kata
mengalir lambat dari bibirnya.
“Orang tuaku mau cerai. Aku baru tahu tadi malam. Tadi malam
aku kebelet pipis tengah malam dan
mendengar mereka bertengkar. Mereka bertengkar nggak kayak di
sinetron-sinetron, Sa. Mereka diskusi, tapi aku bisa bedain mana diskusi biasa mana yang nggak.”
Aku terkesiap, bingung harus berkata apa kemudian
berkali-kali memarahi diriku sendiri di dalam hati begitu sadar kalimat apa
yang aku gunakan sebagai tanggapan. “Memang apa bedanya diskusi biasa sama yang
nggak?”
Terdengar Milo menghela napas panjang. Mungkin ia mengira
aku menganggap ini semua lucu. Namun ekspresinya berubah seketika melihat
wajahku yang innocent. Sungguh, ketika itu aku tidak tahu harus bilang apa.
Mulai hari itu aku mengenal siapa Milo sebenarnya. Entah bagaimana
caranya, namun aku dan Milo semakin dekat saja. Tidak, kami tidak pacaran. Namun
aku senang sekali menemukan teman ngobrol yang seru. Yang sama-sama menyukai Ritter Sport, cokelat asal negara Adolf
Hitler itu. Aku dengan varian Praline
dan dia dengan yang Cornflakes.
Kami selalu ada untuk sama lain. Bagaimana ketika aku jadi
mak comblang ketika ia naksir dengan temanku, atau ketika ia yang selalu ada
ketika aku harus putus dengan pacarku. Segalanya nampak menyenangkan sekali
sampai suatu ketika Milo menghilang di tahun akhir masa SMA kami.
Rumahnya sepi, tersegel rapat. Orang-orang bagian tata usaha
sekolah juga enggan menyebutkan kemana Milo. Hapenya
tidak pernah aktif.
Dan seminggu kemudian pak pos datang ke rumahku membawa
surat beramplop cokelat kumal.
Dari Milo.
Dia bilang perceraian kedua orang tuanya berdampak sangat
besar untuknya. Ia yang semula menetap di kota ini dengan Ibunya mendadak harus
pindah tinggal dengan ayahnya.
Ibunya mau menikah lagi.
Astaga Milo..
*
Aku kehilangan Milo. Sahabat sehangat susu cokelat yang
panas. Setiap dua minggu sekali ia mengirimiku surat tanpa alamat sehingga aku
tidak bisa membalasnya dan tidak ada ide dimana dia berada. Dalam surat-suratnya
ia dengan lancar menuliskan bagaimana tidak enaknya merindukanku. Bukan tipikal
Milo yang kukenal.
Sampai surat ke delapan belas yang membuatku hampir kena
serangan jantung. Surat itu tidak panjang. Hanya beberapa baris pembuka seperti
surat kebanyakan lalu dilanjutkan dengan lirik lagu. Ya, lirik lagu. Sejak kapan
Milo berubah menjadi romantis begini?
Untukmu Lisa, who’s sometimes being replaced by my un-warm six string
riding in the seat.
Brantley Gilbert – More Than Miles
Maybe I should take take picture off the dashboard
Before memory hits the brakes and takes the wheel
Yeah I bet she’s still crying on that front porch
Yeah this time it’s going to take some time to heal
Before memory hits the brakes and takes the wheel
Yeah I bet she’s still crying on that front porch
Yeah this time it’s going to take some time to heal
Cause I’m on my way to Tennessee
Singing Georgia on my mind
Chasing what they say’s a dream
Thinking maybe it ain’t mine
Cause that girl’s in every song I sing
She’s in every song I write
That six string riding in the seat won’t keep me warm tonight
Singing Georgia on my mind
Chasing what they say’s a dream
Thinking maybe it ain’t mine
Cause that girl’s in every song I sing
She’s in every song I write
That six string riding in the seat won’t keep me warm tonight
God what am I supposed to do here?
Cause there’s still more than miles in my rearview
Cause there’s still more than miles in my rearview
Yeah I’ve been changing lanes without my mirrors
Cause every time I look behind me I see her
I think I just realized how much I need her
Cause every time I look behind me I see her
I think I just realized how much I need her
So I’m turning back for Georgia
Stopping short of Tennessee
I cant put my dreams before her man I need her here with me
Cause that girl’s in every song I sing
She’s in every song I write
That six string riding in the seat can sleep in the back tonight
Stopping short of Tennessee
I cant put my dreams before her man I need her here with me
Cause that girl’s in every song I sing
She’s in every song I write
That six string riding in the seat can sleep in the back tonight
Dan surat berikutnya merupakan surat terakhir Milo, juga dengan
lirik lagu yang membuat moodku naik
turun secara drastis hari itu. Bagaimana tidak? Isi surat Milo berbanding
terbalik dengan lirik lagu yang ia sertakan.
Lisa,
mungkin ini adalah surat terakhirku. Jangan terlalu pikirkan lirik lagu di
bawah ini. Dan tolong, jangan pernah menungguku kembali. Karena mungkin aku
tidak akan pernah melakukannya.
The Beatles – When I’m Sixty-four
When
I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings, bottle of wine?
If I’d been out till quarter to three
Would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
Many years from now
Will you still be sending me a valentine
Birthday greetings, bottle of wine?
If I’d been out till quarter to three
Would you lock the door?
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
You’ll be older too
And if you say the word
I could stay with you
And if you say the word
I could stay with you
I
could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more?
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more?
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
Every
summer we can rent a cottage in the Isle of Wight
If it’s not too dear
We shall scrimp and save
Grandchildren on your knee
Vera, Chuck & Dave
If it’s not too dear
We shall scrimp and save
Grandchildren on your knee
Vera, Chuck & Dave
Send
me a postcard, drop me a line
Stating point of view
Indicate precisely what you mean to say
Yours sincerely, wasting away
Give me your answer, fill in a form
Mine for evermore
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
Stating point of view
Indicate precisely what you mean to say
Yours sincerely, wasting away
Give me your answer, fill in a form
Mine for evermore
Will you still need me, will you still feed me
When I’m sixty-four?
Diam berarti banyak ya, Milo. Para pakar perasaan di luar sana
bilang “A guy and a girl can be just
friends. But at one point or another, they will fall for each other. Maybe
temporarily, maybe at the wrong time, maybe too late, or maybe forever.”
And I love
you too, Milo. Come home soon...
*
Pada akhirnya toh kamu tidak pernah kembali, seperti surat
terakhirmu. Apa saja yang sudah terjadi padamu sejak euforia SMA itu berakhir?
Apa kamu masih suka Ritter Sport Cornflakes?
Aku merindukanmu tapi aku tidak bisa,
Milo. Aku sudah terlalu lelah untuk sekedar merindukanmu.
***
12 Mei 2014 18.55
Sudah tiga bulan aku tidak pulang. Kehidupan kasar kota
metropolitan yang egois ini memaksaku menyisakan waktu lebih banyak untuknya
ketimbang untuk Bunda. Belum lagi jika deadline
mengejar. Aku harus siaga 24/7 hingga garis-mati itu selesai.
Aku sedang asyik browsing
tiket pesawat murah untuk pulang menengok Bunda ketika notifikasi emailku berkedip. Satu pesan masuk.
From: Muhammad Mikail
Subject: Halo Andera Kalista
Subject: Halo Andera Kalista
Astaga, is
this really you? Aku nggak pernah nyangka kalo Arakalis writer terkenal kesukaanku
itu kamu sampai aku membaca cerpen terakhirmu yang terbit kira-kira satu bulan
yang lalu.
So, apa
kabar? Masih suka kejatuhan kotoran burung semasa SMA? Atau masih belum bisa
move on dari Gatra? Kamu nangis lama sekali waktu itu. Nostalgia kadang
menyesakkan, ya. But still Andera, Will
you still need me, will you still feed me When I’m sixty-four?
Maaf sudah
pergi lebih dari satu dekade. Tapi masih maukah kamu jadi partner in crime ku? Jadi
orang yang paling dekat denganku, yang lebih dari sekedar teman masa remaja.
Aku memandangi pesan itu dengan tidak percaya. Seenaknya saja Mika
–oke, nama aslinya Mika bukan Milo- memperlakukanku begitu. Seenaknya menyuruhku
berhenti menunggu dan kini dia memintaku kembali. Dia kira aku apa.
Sejak lulus SMA tidak pernah ada nama Mika lagi. Aku menyelesaikan
SMA dengan nilai yang cukup memuaskan. Kuliah di jurusan Komunikasi dan selesai
dalam waktu tiga tahun. Di tahun yang sama dengan tahun kelulusanku, aku
mendapat kesempatan mengikuti Festival Jurnalistik di München, Jerman dan
bertemu dengan seseorang yang menjadi temanku menyelesaikan kehidupan fana ini.
Aku membalas pesan itu dengan satu tangan. Tanganku yang satunya
kugunakan untuk menahan beban Kanya, anakku. Jadi ibu baru memang membuatku
terlalu sensitif sampai tidak sadar kalau aku membalas pesan Mika dengan agak
kasar.
To :
Muhammad Mikail
Subject : Re:Halo Andera Kalista
Subject : Re:Halo Andera Kalista
Mika,
sekarang aku sudah jadi ibu. Aku sekarang paham sekali kenapa dulu Bunda atau
bahkan Mamamu terlalu protektif.
Terima
kasih sudah menjadi penggemar karya-karyaku. Semoga bisa menginspirasi.
p.s. Tolong,
jangan pernah menungguku kembali. Karena aku tidak akan pernah melakukannya.
***
writer's note : Just another fiction story. Hope you like it!
No comments:
Post a Comment