"
Dia tertawa. Menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Matanya menyipit, namun aku masih bisa melihat cahaya kesenangan keluar dari sana. Bahunya naik turun seiring dengan tawanya yang menyenangkan itu. Tawa yang mau tak mau membuatmu tersenyum juga. Walaupun lelucon tadi sama sekali tidak lucu.
Caranya berjalan dan berbicara. Caranya membuat semua orang percaya dengan kata-katanya. Caranya membuat orang lain terpingkal dengan lelucon dan tingkah konyolnya. Segala cara yang membuat setiap orang menyukainya.
Seperti bau hujan di musim kemarau.
Atau bau wangi vanilla white musk kesukaanku.
Atau bau rendang Padang di bulan Ramadhan.
Dia dengan mudah membuat semua orang menyukainya.
***
Dia terkekeh lagi. Entah apa yang membuatnya kali ini tertawa. Aku rasa hal yang tidak begitu penting lagi. Namun kali ini sudah bukan tawanya yang menarik perhatianku. Aku sudah cukup hafal dengan tawanya sekarang. Jadi mendengarkan tawanya bukan merupakan sebuah hal baru bagiku.
Dia sering sekali tertawa dan terkekeh.
Kali ini tatapannya berbeda dari biasanya. Anak perempuan itu memandang kosong ke ujung lapangan basket sekolah kami. Aku mendadak terdiam. Tidak biasanya gadis ini melamun. Biasanya ia selalu tertawa, paling tidak tersenyum. Namun kali ini berbeda. Ia sekarang sering kali melamun, memandang ke arah ujung lapangan basket itu.
Kali ini ujung lapangan itu basah.
Hujan deras mengguyur kota kami. Tidak ada seorang pun yang berniat keluar dari bangunan. Namun gadis kecil tadi tetap berlari mendekati jendela kaca di ujung lorong itu. Kembali menatap ujung lapangan itu. Walau aku yakin objek pandangannya tidak ada disana.
Karena semua orang tidak keluar saat hujan deras begini.
Aku mendekatinya. Sekilas nampak tidak ada yang berbeda darinya. Kecuali tawa yang kuakui sedikit kurindukan itu. Aku mencolek bahunya pelan. Namun tidak ada respon. Akhirnya aku memanggilnya, melantunkan namanya. Oh tidak, hanya seruan. Bukan namanya. Aku bahkan tidak tahu namanya.
Dia menoleh, memandangku dengan tatapan aneh, curiga, entah apalah. Sambil sesekali terus memandang ke arah ujung lapangan basket disana. Nampaknya ada sebuah objek yang ditunggunya. Aku melihat segerombolan hormon testosteron itu bergerak berlarian menyebrangi lapangan basket. Berusaha lari secepat-cepatnya, menghindari tetesan air dari angkasa. Aku teringat niat awalku, bermaksud hendak bertanya kemanakah perginya tawa riang dan senyuman manisnya itu, namun langsung membatalkan niatku begitu kulihat kedua matanya.
Kedua bola hitam putih itu memancarkan binar-binar indah. Benar-benar indah. Aku terkesiap selama beberapa saat. Tahulah aku sekarang, gadis ini tidak bersedih. Gadis ini tidak tampak murung sama sekali. Gadis ini hanya sedang...
jatuh cinta.
"
No comments:
Post a Comment